Sabtu, 07 April 2012

Epistemologi, Ontologi dan Aksiologi


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Epistemologi
1.      Pengertian Epistemologi
Epistemologi berasal dari Yunani yaitu episteme (pengetahuan, ilmu pengetahuan) dan logos (pengetahuan, informasi) dan disebut juga teori pengetahuan. Teori pengetahuan merupakan teori untuk mencapai teori kebenaran.
Pengetahuan adalah proses kehidupan yang diketahui manusia secara langsung dari kesadarannya sendiri. Perlu ditegaskan bahwa pengetahuan tidak sama dengan pengertian.
2.      Unsur Pengetahuan
Unsur pengetahuan yaitu pengamatan (mencamkan) sasaran (objek)  dan kesadaran (jiwa). Ketiga unsur ini merupakan kesatuan yang saling mengikat.
Pengamatan adalah penggunaan indra lahir atau batin untuk menangkap objek. Pengamatan merupakan salah satu bentuk pengalaman. Dalam pengamatan subyek berada di luar sesuatu sedangkan dalam dalam pengalaman subyek justru berada di dalamnya. Dalam arti luas teori pengetahuan mencakup penelitian mengenai keshahihan pengetahuan. Dalam arti sempit teori pengetahuan sama dengan study kritis mengenai pengetahuan.
3.      Tumpuan Pengetahuan
Ada dua sumber pengetahuan yaitu pengalaman (empiris) dan pemikiran (ratio). Terlepas dari keduanya, muncul satu sumber yaitu Intusionisme atau Irasionalisme dengan tokoh Henry Bergson, menurutnya insting dan intuisi merupakan sumber pengetahuan yang sebenarnya yang dibawa oleh manusia sejak lahir.[1] Ada aliran lain yang memadukan kedua sumber (empiris dan ratio) sebagai tumpuan pengetahuan yaitu kritisisme. Lain dengan Fenomenologi aliran menentang kedua sumber itu dan menyatakan sebagai tumpuan pengetahuan.
Jika dikaitkan dengan unsur pengetahuan yang meliputi pengamatan, sasaran dan kesadaran, maka sebagai tumpuan pengetahuan empirisme menunjukkan pengamatan rasionalisme mengarah pada kesadaran, kritisisme memadukan pengamatan dan kesadaran.
Sedang intuisionisme terlepas dari ikatan di atas, sebab sasarannya ada di luar akal.
Aliran intuisionisme atau irasionalisme berkeyakinan bahwa sekedar berfikir saja tidak cukup untuk mencari kebenaran, sebab logika hanya bisa menerangkan, mengurai dan mengatur. Menurut aliran intuisisme, insting merupakan sumber pengetahuan.
4.      Macam Pengetahuan
Pengetahuan adalah mengakui sesuatu terhadap sesuatu. Mengetahui berarti menerima secara akali.  Dipandang dari cara pembentukannya, pengetahuan ada dua macam yaitu pengetahuan langsung dan pengetahuan tidak langsung. Pengetahuan langsung diperoleh melalui pengamatan lahir (persepsi ekstern) sedangkan pengamatan batin (persepsi intern) tanpa perantara.
Contoh : Heru duduk menyendiri (persepsi ekstern),
 Dia merenungi nasibnya (persepsi intern).
Pengetahuan tidak langsung didapat melalui perantara yaitu konklusi (penyimpulan yang tepat) dan autoriti (pemberitahuan yang berkesan)  pemberutahuan utusan/ajaran agama yang diyakini.
Contoh : Panjang x Lebar = Tinggi (Konklusi)
               Tuhan itu Esa dan Kekal (Autoriti)
Miska Muhammad Amien menjelaskan adanya dua macam pengetahuan yaitu pengetahuan wahyu dan pengetahuan ilham.[2]
a.       Wahyu adalah Firman Allah yang berisi pengetahuan yang diturunkan kepada manusia pilihan yaitu Nabi/Rasul. Wahyu mencakup berbagai aspek kehidupan khususnya hubungan manusia dengan Al-Khalik yang disebut “ibadah”, juga hubungan dengan manusia dengan sesama makhluk disebut muamalah.
b.      Pengetahuan Ilham adalah petunjuk yang disampaikan melalui hati sanubari setiap orang. Ilham juga sebagai devine inspiration.
Dengan adanya berbagai jenis pengetahuan di atas, timbu pertanyaan “bagaimana manusia bisa tahu?”, “bagaimana orang bisa berpindah dari pengetahuan konkrit menuju pegetahuan absrak?”.
Dalam menangkap objek konkrit, tidak semua indra digunakan melainkan hanya indra tertentu. Oleh karena itu, pengetahuan yang diperoleh tertentu pula. Sebagai contoh “Awan hanya bisa dilihat, suara hanya bisa didengar”.
Indra yang menangkap rangsangan (objek) di luar akan meninggalkan kesan pada manusia yang berupa ciri atau sifat objek. Kesan ini disebut tanggapan.
Bagaimana tahap pengetahuan orang akan sesuatu, Ahmad Hanafi, M.A mengemukakan beberapa fase pengenalan.[3]
a)      Mengamati hal indrawi secara berurutan; bentuk-warna, ukuran-letak. Misalnya : Bola bulat putih yang besar di keranjang.
b)      Mengenal ciri pokok (esensial) sekalipun sifat indrawi (aksidental)nya berubah-ubah. Contoh : Kursi makan ciri esensialnya adalah kaki, sandaran sedangkan ciri aksidentalnya adalah model, bahan dan ukuran.
c)      Mengaitkan sesuatu dengan sesuatu yang lain berdasarkan pertalian kegiatan untuk dijadikan pengalaman, misalnya : hubungan awan tebal dan turun hujan, antara minum obat dan sehat kembali.
d)     Mengungkap rahasia hubungan sebab akibat. Misalnya : awan tebal mengakibatkan hujan turun karena awan tebal mengandung uap air.
Secara singkat orang mengenal sesuatu secara bertahap yaitu wujud lahiriyah. Ciri pokoknya, hubungannya dengan hal lain, ikatan kausalitasnya, penyebab utamanya, proses pendalamannya, dan penerapantindak lanjut.
5.      Batas Pengetahuan
Berbicara menganai dasar pengetahuan akan berkaitan pula dengan pembahasan mengenai batasannya. Sebab akan muncul pertanyaan sejauh mana pengetahuan yang diperoleh baik melalui empiri, rasio maupun intuisi bisa dipercaya kebenarannya. Orang akan mencari jawabannnya dan jawaban yang dikemukakan pasti berlainan. Ada dua teori yang mengemukakan wilayah pengetahuan yaitu skeptisisme dan objektivisme.
Skeptisisme berpandangan bahwa wilayah pengetahuan hanyalah apa yang sekarang ada dalam jiwa sebagai rekaan. Skeptis artinya ragu. Pikiran ini banyak muncul dalam kehidupan menyangkal masa lalu saya sekarang bukan saya yang dulu. Demikian juga upaya menghapus noda hitam masa lampau yang melekat dalam hidup atau memandang masa depan penuh kabut, serta rasa bimbang dan takut. Kendati demikian terdapat sisi positifnya.
1)      Skeptisisme dalam pengertian umum adalah aliran yang meragukan segala hal. Ia akan mengadakan pemekrisaan dan penelitian ulang dalam meraih kepastian.
2)      Skeptisisme dalam arti khusus adalah aliran yang mengakui adanya batas pengetahuan, pendapat semacam  ini dapat menjadikan manusia bergairah untuk hidup. Ia tidak akan terpaku pada status yang tetap, sebab ada peluang untuk berharap.
B.     Ontologi
Ontologi : Inggris Outology, Yunani ontos (ada, keberadaan) logos (study, ilmu tentang). Ontologi secara terminologi adalah pengaduan penyeledikan terhadap sifat realitas.
Pandangan beberapa filsuf :
Ontologi berarti “pengetahuan tentang yang ada”. Istilah ini muncul pada abad ke-17 diperkenalkan oleh Goelenius tahun 1636, digunakan oleh Clauberg tahun 1647, dan Du Hamel tahun 1663.
1)      Clauberg menyebut Ontologi ilmu pertama study tentang yang ada, study ini dianggap berlaku untuk semua, termasuk Allah dan semua ciptaan dan mendasari baik teologi maupun fisika. Dan juga menyebut disiplin ini Outosophia yang mempunyai arti yang sama dengan Ontologi.
2)      Bagi Gioberti Ontologi adalah disiplin filsafat dasariyah.
3)      Rosmeni Serbati mengontraskan Ontologi dengan Teologi dan Kosmologi, Ontologi adalah doktrin universal tentang yang ada. Teologi adalah doktrin tentang yang ada absolut. Kosmologi doktrin tentang yang ada relatif dan terbatas.
4)      Baumgarten mendefinisikan Ontologi sebagai study tentang “predikat-predikat yang paling umum” beliau menggunakan istilah Ontoshopia sebagai sinonim Ontologi.
Teori-teori tentang sifat realistis tertinggi.
Apa itu realitas sesungguhnya? Seorang filsuf Yunani Thales (pada abad ke-6 SM) mengatakan bahwa dunia berasal dari air. Anaximenes berpendapat bahwa dunia berasal dari udara. Jawaban terhadap permasalahan ini melahirkan berbagai asumsi ada yang mengatakan bahwa realita itu tidak berubah. Jawaban lain mengatakan bahwa realitas adalah sesuatu yang tidak dapat diketahui. Ada juga yang melihatnya dari segi lain misalnya, dimotivasi oleh keyakinan keagamaan atau kepentingan ilmiah semata terhadap masalah tersebut.[4]
Teori-teorinya antara lain :
a)      Monisme, Pluralisme, Dualisme
Pendapat yang menyatakan bahwa realitas secara mendasar adalah satu dari segi proses. Struktur dan landasan disebut monisme.
Filsafat Parmenides (abad ke-6 SM)
Parmenides mengajarkan bahwasanya sesuatu adalah wujud. Wujud mengisi semua ruang dan pemikiran. Perubahan/pluralitas hanyalah satu, perubahan hanyalah ilusi belaka. Monisme modern digambarkan dalam filsafat Hegel (1770-1813) yang mengambarkan dunia sebagai bentangan dari semua spirit absolut yang menyatakan dirinya dalam waktu.
Seorang filsuf modern awal, Descrates (1506-1650) menggambarkan dunia yang diciptakan sebagai dualitas yang mengembang, menempati ruang dan tidak mengembang yang muncul dalam pikiran manusia.
Bergson (1941) membedakan dualisme antara yang diciptakan dan yang menciptakan pemikiran dualismenya.
Plato (427-27 SM) membedakan keabadian, ketidak berubahan dan dunia yang berubah terdapat dalam fenomena pengalaman. Plato dimasukkan sebagai penganut monisme dualisme. Plato juga dikatakan sebagai penganut pluralisme dengan alasan bahwa terdapat jumlah ide nyata secara independen yang muncul dalam realitas. Dengan kata lain, monisme dualisme pluralisme pada dasarnya hanyalah cara untuk mengidentifikasi pendapat-pendapat tentang realitas dimana teori-teori tersebut memiliki perbedaan-perbedaan satu sama lain.[5]
b)      Mistisme, Materialisme dan Supernaturalisme
Mistisme berusaha mengidentifikasi suatu subjek dengan dunianya. Tujuannya terletak pada pengalaman kesatuan, lebih lanjut seorang materialisme secara praktis melihat materi atau energi sebagai realitas puncak. Seorang supernaturalisme berbicara tentang Tuhan, sebagai yang hidup dan bergerak serta memiliki wujud kita. Tuhan yang benar-benar memiliki kemampuan pencipta, menolong, mengampuni dan bereksistensi sempurna.[6]
c)      Marxisme dan Filsafat Revolusioner
Layaknya pragmatisme, marxisme menolak terhadap pendekatan intelektualisme terhadap realitas atau dunia. Walaupun manusia merupakan produk dari lingkungannya, manusia dapat menaruh dalam kendalinya.
Marxisme dan revolusi sepakat menolak institusi sosial dan ekonomi baru-baru ini. Hal ini ditandai dengan label-label seperti “kapitalisme atau kemapanan” ketika sosial dan sifat manusia termasuk dunianya merupakan hasil dari kemapanan.
C.    Axiologi
Yunani Axios = layak, pantas, nilai. Secara istilahkualitas suatu hal yang menjadikan hal itu dapat disukai, diinginkan, berguna atau dapat menjadi objek, kepentingan.
Teori-teori tentang nilai
Teori umum tentang ini bermula dari perdebatan antara Alexius Meinong dengan Cristian Von Ehrenfels pada tahun 1890 berkaitan dengan sumber nilai adalah perasaan atau kemungkinan adanya kesenangan terhadap suatu objek. Ehrenfels berpendapat bahwa sumber nilai adalah hasrat/keinginan (disire). Menurut kedua pendapat tersebut nilai adalah milik objek itu sendiri.[7]
Macam-macam nilai
1.      Nilai Instrumental
Nilai instrumental mempunyai beberapa pengertian;
-          Nilai yang dimiliki suatu hal dalam menghasilkan akibat-akibat atau hasil-hasil yang diinginkan.
-          Suatu nilai yang digunakan sebagai alat untuk memperoleh suatu yang diinginkan.
2.      Nilai Utilitarian
Pengertiannya sebagai berikut;
-          Nilai yang dipunyai oleh suatu hal yang berguna bagi pemenuhan sebuah tujuan.
-          Nilai yang dimiliki suatu hal dalam memajukan kebaikan terbesar dari jumlah besar.
Filsafat Etika
Nilai menghendaki meghargai sejumlah aspek pengalaman manusia. Nilai etika lebih diprioritaskan dibandingkan dengan nilai-nilai yang lain. Apapun tindakannya yang dilakukan, nilai moral harus mengikutinya melebihi nilai lainnya. Misalnya suatu statemen mengatakan bahwa nilai estetika merupakan nilai moral yang tertinggi. Karena begitu pentingnya, nilai moral mendapat perhatian yang cukup besar.
Teori Etika Deontologis
Etika deontologis menekankan sifat pembuktian diri dari yang benar sebagai sesuatu yang lahir dari penalaran intuisi dan moral. Seorang deontologis akan mengatakan bahwa suatu tindakan adalah wajar dan dapat menjadi benar walaupun hal ini tidak terjadi dan mendapat akibat yang baik. Seperti dia berbuat atas dasar kewajiban dengan niat baik hal ini tetap saja akan menghasilkan suatu akibat buruk yakni menyebabkan perantara atau orang lain menjadi tidak senang.
Etika Egoisme
Seseorang harus melakukan kepentingan sendiri dan mengabaikan kepentingan orang lain.
Kepentingan seseorang yang seharusnya ia lakukan dapat berbentuk :
-          Memaksimalkan kesenangan atau kebahagiaan diri sendiri.
-          Memaksimalkan kesenangan atau kebahagiaan secara umum.
Pengamat etika egoisme lainnya adalah Protagiras dan Aristoteles (setiap orang adalah sahabatnya yang terbaik.[8]
Masalah Kebaikan
Inggris good, Yunani Agothon. Mempunyai pengertian “apa yang dapat menyempurnakan sesuatu. Dan karena itu ia pantas untuk diperjuangkan.
Macam-macam kebaikan :
a.       Kebaikan ekstrinsik : suatu nilai yang diinginkan demi kepentingan sesuatu yang lainnya.
b.      Kebaikan intrinsik : nilai bagi dirinya sendiri.
c.       Kebaikan instrumental : suatu nilai sebagai sarana untuk menciptakan kebaikan lainnya.
Pandangan beberapa filsafat tentang nilai/kebaikan;
1)      Bagi Plato kebaikan tertinggi dimengerti sebagai prinsip yang mempengaruhi dunia.
2)      Bagi Hegel kebaikan merupakan kehendak manusia dengan rasional.
3)      Bagi Westermarek  kebaikan timbul dari sikap penghargaan dalam masyarakat dan kebenaran.

BAB III
KESIMPULAN
Pengkajian terhadap suatu bidang pengetahuan harus dibangun dari fondasi filsafat yang kuat, jelas, terarah, sistematis, berdasarkan norma-norma keilmuan dan dapat dipertanggungjawabkan. Filsafat ilmu merupakan kajian yang dilakukan secara mendalam mengenai dasar-dasar ilmu. Pendekatan yang digunakan dalam menguak landasan-landasan atau dasar-dasar ilmu adalah melalui tiga hal. Pertama, pendekatan ontologi, yaitu ilmu yang mengkaji tentang hakikat. Teori hakikat pertama kali dikemukakan oleh filsuf Thales yang mengatakan bahwa hakikat segala sesuatu itu adalah air. Kemudian dalam perkembangannya, bermuncullah paham-paham tentang ontologi meliputi monoisme, dualisme, pluralisme, nihilisme, dan agnotisisme. Kedua, pendekatan epistemologi, yaitu cabang filsafat yang mempelajari asal mula atau sumber, struktur, metode dan syahnya (validitas) pengetahuan. Dalam menemukan sumber pengetahuan itu terdapat beberapa metode yaitu induktif, deduktif, positivisme, kontemplatif, dan dialektis. Ketiga, pendekatan aksiologi, yaitu teori tentang nilai (etika dan estetika). Pada adasarnya ilmu harus digunakan untuk kemaslahatan umat manusia. Ilmu dapat dimanfaatkan sebagai sarana untuk meningkatkan taraf hidup manusia dan kesejahteraannya dengan menitik beratkan pada kodrat dan martabat manusia itu sendiri, maka pengetahuan ilmiah yang diperoleh disusun dan dipergunakan secara komunal dan universal.
Ketiga pendekatan ini harus bisa menjawab hal-hal berikut : Bagaimana hakikat dari sesuatu yang ditelaah? Bagaimana cara-cara memahami pengetahuan, langkah-langkahnya, sumbernya dan metodologinya? Bagaimana urgensi, nilai dan kegunaan dari sesuatu itu? Ke tiga landasan di atas merupakan dasar pijakan yang sangat penting untuk dipahami dalam mendalami dasar-dasar segala ilmu pengetahuan. Karena ke tiganya saling berkaitan erat satu sama lain sebagai titik tolak dalam pencapaian kajian hakekat kebenaran ilmu.





















[1] Abu Hanifah, Rintisan Filsafat I. (cet. II, Jakarta. 1950) hal. 84
[2] Miska Muhammad Amien. Epistimologi Islam.(Jakarta: 1983) hal. 19
[3] Ahmad Hanafi. M.A. Pengentar Filsafat Islam. Cet iv (Jakarta;1990) hal 5
[4] Hamilton D. Hunnex. Peta Filsafat Pendekatan Kronologis dan Tematis. Terj. Zubair (Jakarta:Teraju, 2004) hal 49
[5] Ibid. Hal 50-51
[6] Ibid. Hal 51
[7] Hunnex. Ibid, hal 56
[8] Ibid hal 66

Tidak ada komentar:

Posting Komentar