BAB I
Pendahuluan
A. Latar Belakang Masalah
Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat memiliki kebutuhan yang bermacam-macam.
Kebutuhan tersebut adakalanya kebutuhan primer, sekunder maupun tersier. Adakalnya
seseorang tidak bisa memenuhi kebutuhunya karena kurangnya dana. Dan ada
seseorang yang dalam mencukupi kebutuhanya memerlukan bantuan orang lain. Dari
kedua kasus orang ini, dalam mencukupi kebutuhan hidupnya masing-masing bisa
melakukan akad ijarah atau sewa-menyewa, yaitu memberikan
suatu benda kepada seseorang untuk diambil manfaatnya, dengan ketentuan orang
yang menerima benda tersebut memberi tukaran sebagai bayaran penggunaan manfaat
barang yang dipergunakan tersebut.
Seorang yang membutuhkan tempat tinggal misalnya, dalam mendapatkan
tempat tinggal berupa rumah, jika orang tersebut belum mampu untuk membuat
rumah sendiri atau membeli rumah, maka ia tidak harus membeli rumah, tapi bisa
juga dengan menyewa suatu rumah untuk ditempati dengan batasan waktu tertentu
dan dengan ujrah atau upah tertentu, sesuai dengan kesepakatan antara
orang yang menyewakan (mu`jir) dan orang yang menyewa (musta`jir).
Untuk lebih jelasnya makalah ini akan membahas masalah sewa-menyewa
tersebut dalam kaitanya dengan pengertian ijarah, dasar-dasar hukum, rukun dan
syarat-syaratnya serta membahas masalah pembagian ijarah beserta hukumnya.
Dengan harapan semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca terutama pemakalah.
B. Rumusan Masalah
- Bagaiman pengertian serta dasar hukum ijarah ?
- Apa saja yang menjadi rukun serta syarat
ijarah ?
- Apa macam-macam ijarah dan hukumnya ?
BAB II
Pembahasan
A. Pengertian Ijarah dan Dasar Hukum Ijarah
Pengertian Ijarah
Perkataan ijarah menurut bahasa berarti upah, atau sewa.
Sedang yang dimaksud ijarah menurut istilah syara` ialah: memberikan
suatu benda kepada seseorang untuk diambil manfaatnya dari benda tersebut,
dengan ketentuan orang yang menerima benda tersebut memberi tukaran sebagai bayaran
penggunaan manfaat barang yang dipergunakan tersebut.
Sewa menyewa (Ijarah) dapat
berupa menyewa rumah untuk ditempati, menyewa tanah untuk ditanami, menyewa
seorang ibu untuk menyusui anaknya, menyewa gedung untuk kantor dan sebagainya.[1]
Dalam redaksi
lain ijarah adalah (menjual manfa`at)
Untuk lebih jelasnya akan dikemukakan beberapa definisi ijarah menurut pendapat
beberapa ulama fiqh;
ü
Ulama Hanafiyah; ijarah merupakan “akad atas suatu kemanfaatan dengan
pengganti”.
ü
Ulama Asy-Syafi`iyah; ijarah adalah “akad atas suatu kemanfaatan yang mengandung
maksud tertentu dan mubah, serta menerima pengganti atau kebolehan dengan
pengganti tertentu.
ü
Ulama Malikiyah dan Hanabilah, mengartiakanya “menjadikan milik suatu kemanfaatan yang
mubah dalam waktu tertentu dengan pengganti.
Menurut jumhur ulama fiqh ijarah adalah menjual
manfaat dan yang boleh disewakan adalah manfaatnya bukan bendanya. Oleh karena
itu mereka melarang menyewakan pohon untuk diambil buahnya, domba untuk diambil
susunya, sumur untuk diambil airnya, dan lain-lain, sebab semua itu bukan
manfaatnya tapi bendanya.[2]
Dasar Hukum Ijarah
Hampir semua ulama fiqih sepakat bahwa ijarah
disyariatkan dalam islam. Adapun golongan yang tidak menyepakatinya antara
lain; Abu Bakar Al-Asham, Ismail Ibn Aliah, Hasan Al-Bashri, Al-Qasyani,
Nahrawi dan Ibn Kaisan, mereka beralasan bahwa ijarah adalah jual beli
kemanfaatan yang tidak dapat dipegang (tidak ada). Sesuatu yang tidak ada tidak
dapat dikatakan jual beli.
Dalam menjawab pandangan ulama yang tidak menyepakati
ijarah, Ibn Rusyd berpendapat bahwa kemanfaatan walaupun tidak berbentuk, dapat
dijadikan alat pembayaran menururt kebiasaan (adat).
Jumhur ulama berpendapat bahwa ijarah disyariatkan
berdasarkan;
1)
Al-Qur`an (Ath-Thalaq: 6)
…. 4 ÷bÎ*sù z`÷è|Êör& ö/ä3s9 £`èdqè?$t«sù …..
“…..kemudian
jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka berikanlah kepada mereka upahnya….”
2)
Al-Qur`an (Al-Qashash: 26-27)
ôMs9$s%
$yJßg1y÷nÎ)
ÏMt/r'¯»t
çnöÉfø«tGó$#
( cÎ)
uöyz
Ç`tB
|Nöyfø«tGó$#
Èqs)ø9$#
ßûüÏBF{$#
ÇËÏÈ tA$s%
þÎoTÎ)
ßÍé&
÷br&
y7ysÅ3Ré&
y÷nÎ)
¢ÓtLuZö/$#
Èû÷ütG»yd
#n?tã
br&
ÎTtã_ù's?
zÓÍ_»yJrO
8kyfÏm
( ÷bÎ*sù
|MôJyJø?r&
#\ô±tã
ô`ÏJsù
x8ÏZÏã
( !$tBur
ßÍé&
÷br&
¨,ä©r&
øn=tã
4 þÎTßÉftFy
bÎ)
uä!$x©
ª!$#
ÆÏB
tûüÅsÎ=»¢Á9$#
ÇËÐÈ
Artinya:
26.
Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "Ya bapakku ambillah ia
sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena Sesungguhnya orang yang paling
baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat
dipercaya".
27.
Berkatalah Dia (Syu'aib): "Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu
dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja
denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun Maka itu adalah
(suatu kebaikan) dari kamu, Maka aku tidak hendak memberati kamu. dan kamu
insya Allah akan mendapatiku Termasuk orang- orang yang baik".
3)
Hadis Aisyah
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ بُكَيْرٍ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنْ
عُقَيْلٍ قَالَ ابْنُ شِهَابٍ فَأَخْبَرَنِى عُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ أَنَّ
عَائِشَةَ رضى الله عنها زَوْجَ النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم - قَالَتْ وَاسْتَأْجَرَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَأَبُو بَكْرٍ رَجُلاً
مِنْ بَنِى الدِّيلِ ، هَادِيًا خِرِّيتًا وَهْوَ عَلَى دِينِ كُفَّارِ
قُرَيْشٍ فَدَفَعَا إِلَيْهِ
رَاحِلَتَيْهِمَا وَوَاعَدَاهُ غَارَ
ثَوْرٍ بَعْدَ ثَلاَثِ لَيَالٍ بِرَاحِلَتَيْهِمَا صُبْحَ ثَلاَثٍ
Dari Urwah bin Zubair bahwa sesungguhnya Aisyah ra. Istri Nabi
berkata: Rasulullah dan Abu Bakar
menyewa seorang laki-laki dari Bani Ad-Dayl, penunjuk jalan yang mahir, dan ia
masih memeluk agama orang kafir Quraisy. Nabi dan Abu Bakar kemudian
menyerahkan kepadanya kendaraan mereka, dan mereka berdua menjanjikan untuk
bertemu di Gua Tsaur dengan kendaraan mereka setelah tiga hari pada pagi hari
selasa (HR. Al-Bukhari).[3]
4)
Ijma`
Umat islam pada masa sahabat telah berijma` bahwa
ijarah dibolehkan sebab bermanfaat bagi manusia.
B. Rukun dan Syarat Ijarah
Menurut Jumhur
ulama, rukun ijarah ada 4, yaitu:
1. `Aqid
(orang yang aqad).
2. Shighat
akad.
3. Ujrah
(upah).
4. Manfaat.
Syarat
Ijarah
1. Syarat
Terjadinya Aqad
Syarat ini berkaitan dengan `aqid,
zat aqad, dan tempat.
Menurut ulama Hanafiyah,`aqid disyaratkan harus berakal
dan mumayis, dan tidak disyaratkan harus baligh, akan tetapi jika bukan barang
miliknya, akad ijarah anak mumayyis dipandang sah bila telah diizinkan walinya.
Ulama Malikiyah berpendapat bahwa tamyis adalah syarat
ijarah dan jual beli, sedangkan baligh adalah syarat penyerahan. Dengan
demikian akad anak mumayis adalah sah, tetapi bergantung atas keridaan walinya.
Ulama Hanabilah dan Syafi`iyah mensyaratkan orang akad
harus mukallaf, yaitu baligh dan berakal, sedangkan anak mumayis belum dapat
dikategorikan ahli akad.
2. Syarat
Pelaksanaan (An-Nafadz)
Agar ijarah terlaksan, barang harus dimiliki `aqid atau
ia memiliki kekuasaan penuh untuk akad (ahliah). Dengan demikian ijarah al-fudhul (ijarah yang dilakukan oleh
orang yang tidak memiliki kekuasaan atau tidak diizinkan pemiliknya) tidak
dapat menjadikan adanya ijarah.
3. Syarat
Sah Ijarah
Keabsahan ijarah sangat berkaitan dengan `aqid (orang
yang akad), ma`qud `alaih (barang yang menjuadi obyek akad), ujrah (upah), dan
zat akad (nafs al-`aqad), yaitu:
a)
Adanya keridaan
dari kedua pihak yang akad.
Syarat ini didasarkan firman Allah;
$ygr'¯»t
úïÏ%©!$#
(#qãYtB#uä
w (#þqè=à2ù's?
Nä3s9ºuqøBr&
Mà6oY÷t/
È@ÏÜ»t6ø9$$Î/
HwÎ)
br&
cqä3s?
¸ot»pgÏB
`tã
<Ú#ts?
öNä3ZÏiB
4 wur
(#þqè=çFø)s?
öNä3|¡àÿRr&
4 ¨bÎ)
©!$#
tb%x.
öNä3Î/
$VJÏmu
ÇËÒÈ
Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil,
kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara
kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimuSesungguhnya Allah adalah Maha
Penyayang kepadamu.(QS. An-Nisa`: 29)
Ijarah dapat dikategorikan jual beli sebab mengandung unsur pertukaran
harta.
b)
Ma`qud `alaih bermanfaat
dengan jelas.
Adanya kejelasan
ma`qud `alaih menghilangkan pertentangan diantara `aqid.
Diantara cara untuk mengetahui ma`qud `alaih (barang)
adalah dengan menjelaskan manfaatnya, pembatasan waktu, atau menjelaskan
pekerjaan jika ijarah atas pekerjaan atau jasa seseorang.[4]
c)
Ma`qud `alaih (barang)
harus memenuhi syara`.
Dipandang tidak sah menyewa hewan untuk berbicara pada
anaknya, karena hal itu sangat mustahil, begitu juga menyewa perempuan yang
sedang haid untuk membersihkan masjid sebab diharamkan syara`.
d)
Kemanfatan benda
dibolehkan menurut syara`.
Pemanfatan barang harus digunakan untuk
perkara-perkara yang diperbolehkan syara`, seperti menyewa rumah untuk didiami,
jaring untuk memburu, dan lain-lain.
e)
Tidak menyewa
untuk pekerjaan yang diwajibkan kepadanya.
Seperti menyewa orang untuk shalat fardu, puasa , dan
lain-lain.
f)
Tidak mengambil
manfaat bagi diri orang yang disewa.
Tidak menyewakan diri untuk perbuatan ketaatan, karena
manfaatnya kembali pada dirinya, juga tidak mengambil manfaat dari sisa
pekerjaannya, seperti menggiling gandum dan mengambil bubuknya atau tepungnya
untuk dirinya.
g)
Manfaat ma`qud
`alaih sesuai dengan keadaan yang umum.
Tidak boleh menyewa pohon untuk dijadikan jemuran atau
tempat lindung, sebab tidak sesuai dengan manfaat yang dimaksud dalam ijarah.
4. Syarat
Barang Sewaan (ma`qud `alaih)
Diantara syarat barang sewaan adalah dapat dipegang
atau dikuasai. Hal ini didasarkan pada hadis Rasulullah SAW, yang melarang
menjual barang yang tidak dapat dipegang atau dikuasai, sebagaimana dalam jual
beli.
5. Syarat
Ujrah (upah)
a.
Berupa harta tetap yang dapat diketahui.
b.
Tidak boleh sejenis dengan barang manfaat ijarah,
seperti upah menyewa rumah untuk ditempati dengan menempati rumah tersebut.
6. Syarat
yang kembali pada Rukun Akad
Akad disyarat harus terhindar dari syarat-syarat yang
tidak diperlukan atau syarat-syarat yang merusak akad, seperti menyewakan rumah
dengan syarat rumah tersebut akan ditempati oleh pemiliknya selama sebulan,
kemudian diberikan kepada penyewa.
7. Syarat
Kelaziman
Syarat kelaziman ijarah terdiri atas dua hal berikut;
a.
Ma`qud `alaih (barang sewaan) terhindar dari cacat.
Jika terdapat cacat, penyewa boleh memilih antara
meneruskan denagan nmembayar penuh atau membatalkanya.
b.
Tidak ada uzur yang membatalkan akad.
Ulam Hanafiyah berpendapat bahwa ijarah batal karena
adanya uzur. Uzur yang dimaksud adalah sesuatu yang baru yang menyebabkan
kemadaratan bagi yang akad, uzur dikategorikan menjadi tiga macam;
§
Uzur dari pihak penyewa, seperti
berpindah-pindah dalam mempekerjakan sesuatu sehingga tidak menghasilkan
apa-apa, atau pekerjaan sia-sia.
§
Uzur dari pihak yang disewa, seperti barang yang
disewakan harus dijual untuk membayar utang dan tidak ada jalan lain, kecuali
menjualnya.
§
Uzur pada barang yang disewa, seperti menyewa
kamar mandi, tetapi menyebabkan penduduk dan penyewa harus pindah.
Menurut jumhur ulama, ijarah adalah akad lazim,
seperti jual beli. Oleh karen itu, tidak bisa batal tanpa adanya sebab yang
membatalkan. Menurut ulam Syafi`iyah, jika tidak ada uzur, tetapi masih
memungkinkan untuk diganti dengan barang lain, ijarah tidak batal. Ijarah dapat
dikatakan batal jika kemanfaatanya benar-benar hilang.[5]
C. Macam-macam
Ijarah dan Hukumnya
Ijarah ada dua
macam:
1.
Ijarah atas manfaat, disebut juga sewa-menyewa dimana
obyek akadnya adalah manfaat dari suatu benda. Hukumnya dibolehkan atas manfaat
yang mubah, seperti rumah untuk tempat tinggal. Adapun manfaat yang diharamkan
maka tidak boleh disewakan, karena barangnya disewakan. Dengan demikian tidak
boleh mengambil imbalan untuk manfaat yang diharamkan ini, seperti bangkai dan
darah.
2.
Ijarah atas pekerjaan, disebut juga upah-mengupah, dan
obyek akadnya adalah amal atau pekerjaan seseorang. Ijarah ini merupakan suatu
akad ijarah untuk untuk melakukan suatu perbuatan tertentu. Misalnya membangun
rumah, menjahit pakaian, mengangkut barang dan sebagainya. Orang yang melakukan
pekerjaan disebut ajir atau tenaga kerja.
Ajir atau tenaga kerja ada dua macam:
1.
Ajir atau tenaga kerja khusus, yaitu orang yang
bekerja pada satu orang untuk masa tertentu. Dalam hal ini ia tidak boleh bekerja
pada orang lain. Contohnya orang yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga
pada orang tertentu.
2.
Ajir atau tenaga kerja musytarak, yaitu
orang yang bekerja pada lebih dari satu orang sehingga mereka bersekutu didalam
memanfaatkan tenaganya. Contohnya tukang jahit. Hukumnya ajir tersebut boleh
bekerja untuk semua orang, dan orang yang menyewa tenaganya tidak boleh
melarangnya bekerja pada orang lain. Ia (ajir) tidak berhak atas upah
kecuali dengan bekerja.[6]
BAB III
Penutup
Kesimpulan
Ijarah
menurut istilah syara` ialah: memberikan suatu benda kepada seseorang untuk
diambil manfaatnya dari benda tersebut, dengan ketentuan orang yang menerima
benda tersebut memberi tukaran sebagai bayaran penggunaan manfaat barang yang
dipergunakan tersebut. Ijarah ini berdasarkan
Al-Qur`an (Ath-Thalaq: 6) dan (Al-Qashash: 26-27), Hadis
Aisyah, dan ijma`.
Menurut Jumhur ulama, rukun ijarah
ada 4, yaitu: `Aqid (orang yang aqad), shighat akad, ujrah (upah), dan manfaat.
Sedang syarat iajarah anatara lain: syarat terjadinya aqad, syarat pelaksanaan
(an-nafadz), syarat sah ijarah, syarat barang sewaan (ma`qud `alaih), syarat
ujrah (upah), syarat yang kembali pada rukun akad, syarat kelaziman.
Ijarah ada dua macam: ijarah
atas manfaat, disebut juga sewa-menyewa dimana obyek akadnya adalah manfaat
dari suatu benda dan ijarah atas pekerjaan, disebut juga upah-mengupah, dan
obyek akadnya adalah amal atau pekerjaan seseorang.
Daftar Pustaka
Umam, Chatibun. 1995. Fiqih
Untuk Madrasah Tsanawiyah. Kudus: Menara Kudus.
Syafe`I, Rachmat. 2004. Fiqih
Muamalah. Bandung: Pustak Setia.
Muslich, Ahmad
Wardi. 2010. Fiqh Muamalah. Jakarta: Amzah.
[1] Prof.
DR. H. Chatibun Umam. Fiqih Untuk
Madrasah Tsanawiyah. Hlm: 219.
[2] Prof.
DR. Rachmat Syafe`I, MA. Fiqih Muamalah.
Hlm: 121-122.
[3] Drs. H.
Ahmad Wardi Muslich. Fiqh Muamalah. Hlm: 318-319.
[4] Prof.
DR. Rachmat Syafe`I, MA. Fiqih Muamalah
Hlm: 123-124.
[5] Ibid.
Hlm: 128-130
[6]Drs. H.
Ahmad Wardi Muslich. Fiqh Muamalah. Hlm: 329-333.