Senin, 12 September 2011

Ijarah


BAB I
Pendahuluan
A.    Latar Belakang Masalah
Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat memiliki kebutuhan yang bermacam-macam. Kebutuhan tersebut adakalanya kebutuhan primer, sekunder maupun tersier. Adakalnya seseorang tidak bisa memenuhi kebutuhunya karena kurangnya dana. Dan ada seseorang yang dalam mencukupi kebutuhanya memerlukan bantuan orang lain. Dari kedua kasus orang ini, dalam mencukupi kebutuhan hidupnya masing-masing bisa melakukan akad ijarah atau sewa-menyewa, yaitu memberikan suatu benda kepada seseorang untuk diambil manfaatnya, dengan ketentuan orang yang menerima benda tersebut memberi tukaran sebagai bayaran penggunaan manfaat barang yang dipergunakan tersebut.
Seorang yang membutuhkan tempat tinggal misalnya, dalam mendapatkan tempat tinggal berupa rumah, jika orang tersebut belum mampu untuk membuat rumah sendiri atau membeli rumah, maka ia tidak harus membeli rumah, tapi bisa juga dengan menyewa suatu rumah untuk ditempati dengan batasan waktu tertentu dan dengan ujrah atau upah tertentu, sesuai dengan kesepakatan antara orang yang menyewakan (mu`jir) dan orang yang menyewa (musta`jir).
Untuk lebih jelasnya makalah ini akan membahas masalah sewa-menyewa tersebut dalam kaitanya dengan pengertian ijarah, dasar-dasar hukum, rukun dan syarat-syaratnya serta membahas masalah pembagian ijarah beserta hukumnya. Dengan harapan semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca terutama pemakalah.

B.     Rumusan Masalah
  1. Bagaiman pengertian serta dasar hukum ijarah ?
  2. Apa saja yang menjadi rukun serta syarat ijarah ?
  3. Apa macam-macam ijarah dan hukumnya ?




BAB II
Pembahasan
A.    Pengertian Ijarah dan Dasar Hukum Ijarah
Pengertian Ijarah
Perkataan ijarah menurut bahasa berarti upah, atau sewa.
Sedang yang dimaksud ijarah menurut istilah syara` ialah: memberikan suatu benda kepada seseorang untuk diambil manfaatnya dari benda tersebut, dengan ketentuan orang yang menerima benda tersebut memberi tukaran sebagai bayaran penggunaan manfaat barang yang dipergunakan tersebut.
Sewa menyewa (Ijarah) dapat berupa menyewa rumah untuk ditempati, menyewa tanah untuk ditanami, menyewa seorang ibu untuk menyusui anaknya, menyewa gedung untuk kantor dan sebagainya.[1]
Dalam redaksi lain ijarah adalah (menjual manfa`at)
Untuk lebih jelasnya akan dikemukakan beberapa definisi ijarah menurut pendapat beberapa ulama fiqh;
ü  Ulama Hanafiyah; ijarah merupakan “akad atas suatu kemanfaatan dengan pengganti”.
ü  Ulama Asy-Syafi`iyah; ijarah adalah “akad atas suatu kemanfaatan yang mengandung maksud tertentu dan mubah, serta menerima pengganti atau kebolehan dengan pengganti tertentu.
ü  Ulama Malikiyah dan Hanabilah, mengartiakanya “menjadikan milik suatu kemanfaatan yang mubah dalam waktu tertentu dengan pengganti.
Menurut jumhur ulama fiqh ijarah adalah menjual manfaat dan yang boleh disewakan adalah manfaatnya bukan bendanya. Oleh karena itu mereka melarang menyewakan pohon untuk diambil buahnya, domba untuk diambil susunya, sumur untuk diambil airnya, dan lain-lain, sebab semua itu bukan manfaatnya tapi bendanya.[2]
Dasar Hukum Ijarah
Hampir semua ulama fiqih sepakat bahwa ijarah disyariatkan dalam islam. Adapun golongan yang tidak menyepakatinya antara lain; Abu Bakar Al-Asham, Ismail Ibn Aliah, Hasan Al-Bashri, Al-Qasyani, Nahrawi dan Ibn Kaisan, mereka beralasan bahwa ijarah adalah jual beli kemanfaatan yang tidak dapat dipegang (tidak ada). Sesuatu yang tidak ada tidak dapat dikatakan jual beli.
Dalam menjawab pandangan ulama yang tidak menyepakati ijarah, Ibn Rusyd berpendapat bahwa kemanfaatan walaupun tidak berbentuk, dapat dijadikan alat pembayaran menururt kebiasaan (adat).
Jumhur ulama berpendapat bahwa ijarah disyariatkan berdasarkan;
1)   Al-Qur`an (Ath-Thalaq: 6)
…. 4 ÷bÎ*sù z`÷è|Êör& ö/ä3s9 £`èdqè?$t«sù …..
“…..kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka berikanlah kepada mereka upahnya….”

2)   Al-Qur`an (Al-Qashash: 26-27)
ôMs9$s% $yJßg1y÷nÎ) ÏMt/r'¯»tƒ çnöÉfø«tGó$# ( žcÎ) uŽöyz Ç`tB |Nöyfø«tGó$# Èqs)ø9$# ßûüÏBF{$# ÇËÏÈ   tA$s% þÎoTÎ) ߃Íé& ÷br& y7ysÅ3Ré& y÷nÎ) ¢ÓtLuZö/$# Èû÷ütG»yd #n?tã br& ÎTtã_ù's? zÓÍ_»yJrO 8kyfÏm ( ÷bÎ*sù |MôJyJø?r& #\ô±tã ô`ÏJsù x8ÏZÏã ( !$tBur ߃Íé& ÷br& ¨,ä©r& šøn=tã 4 þÎTßÉftFy bÎ) uä!$x© ª!$# šÆÏB tûüÅsÎ=»¢Á9$# ÇËÐÈ  
Artinya:
26. Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya".
27. Berkatalah Dia (Syu'aib): "Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun Maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu, Maka aku tidak hendak memberati kamu. dan kamu insya Allah akan mendapatiku Termasuk orang- orang yang baik".

3)   Hadis Aisyah
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ بُكَيْرٍ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنْ عُقَيْلٍ قَالَ ابْنُ شِهَابٍ فَأَخْبَرَنِى عُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ أَنَّ عَائِشَةَ رضى الله عنها زَوْجَ النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم - قَالَتْ وَاسْتَأْجَرَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَأَبُو بَكْرٍ رَجُلاً مِنْ بَنِى الدِّيلِ ، هَادِيًا خِرِّيتًا وَهْوَ عَلَى دِينِ كُفَّارِ قُرَيْشٍ  فَدَفَعَا إِلَيْهِ رَاحِلَتَيْهِمَا  وَوَاعَدَاهُ غَارَ ثَوْرٍ بَعْدَ ثَلاَثِ لَيَالٍ بِرَاحِلَتَيْهِمَا صُبْحَ ثَلاَثٍ
Dari Urwah bin Zubair bahwa sesungguhnya Aisyah ra. Istri Nabi berkata: Rasulullah  dan Abu Bakar menyewa seorang laki-laki dari Bani Ad-Dayl, penunjuk jalan yang mahir, dan ia masih memeluk agama orang kafir Quraisy. Nabi dan Abu Bakar kemudian menyerahkan kepadanya kendaraan mereka, dan mereka berdua menjanjikan untuk bertemu di Gua Tsaur dengan kendaraan mereka setelah tiga hari pada pagi hari selasa (HR. Al-Bukhari).[3]  
4)   Ijma`  
Umat islam pada masa sahabat telah berijma` bahwa ijarah dibolehkan sebab bermanfaat bagi manusia.
B.     Rukun dan Syarat Ijarah
Menurut Jumhur ulama, rukun ijarah ada 4, yaitu:
1.      `Aqid (orang yang aqad).
2.      Shighat akad.
3.      Ujrah (upah).
4.      Manfaat.
    Syarat Ijarah
1.    Syarat Terjadinya Aqad
            Syarat ini berkaitan dengan `aqid, zat aqad, dan tempat.
Menurut ulama Hanafiyah,`aqid disyaratkan harus berakal dan mumayis, dan tidak disyaratkan harus baligh, akan tetapi jika bukan barang miliknya, akad ijarah anak mumayyis dipandang sah bila telah diizinkan walinya.
Ulama Malikiyah berpendapat bahwa tamyis adalah syarat ijarah dan jual beli, sedangkan baligh adalah syarat penyerahan. Dengan demikian akad anak mumayis adalah sah, tetapi bergantung atas keridaan walinya.
Ulama Hanabilah dan Syafi`iyah mensyaratkan orang akad harus mukallaf, yaitu baligh dan berakal, sedangkan anak mumayis belum dapat dikategorikan ahli akad.
2.    Syarat Pelaksanaan (An-Nafadz)
Agar ijarah terlaksan, barang harus dimiliki `aqid atau ia memiliki kekuasaan penuh untuk akad (ahliah). Dengan demikian ijarah al-fudhul (ijarah yang dilakukan oleh orang yang tidak memiliki kekuasaan atau tidak diizinkan pemiliknya) tidak dapat menjadikan adanya ijarah.
3.    Syarat Sah Ijarah
Keabsahan ijarah sangat berkaitan dengan `aqid (orang yang akad), ma`qud `alaih (barang yang menjuadi obyek akad), ujrah (upah), dan zat akad (nafs al-`aqad), yaitu:
a)    Adanya keridaan dari kedua pihak yang akad.
Syarat ini didasarkan firman Allah;
$ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãYtB#uä Ÿw (#þqè=à2ù's? Nä3s9ºuqøBr& Mà6oY÷t/ È@ÏÜ»t6ø9$$Î/ HwÎ) br& šcqä3s? ¸ot»pgÏB `tã <Ú#ts? öNä3ZÏiB 4 Ÿwur (#þqè=çFø)s? öNä3|¡àÿRr& 4 ¨bÎ) ©!$# tb%x. öNä3Î/ $VJŠÏmu ÇËÒÈ  

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimuSesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.(QS. An-Nisa`: 29)
Ijarah dapat dikategorikan jual beli sebab mengandung unsur pertukaran harta.
b)   Ma`qud `alaih bermanfaat dengan jelas.  
Adanya kejelasan ma`qud `alaih menghilangkan pertentangan diantara `aqid.
Diantara cara untuk mengetahui ma`qud `alaih (barang) adalah dengan menjelaskan manfaatnya, pembatasan waktu, atau menjelaskan pekerjaan jika ijarah atas pekerjaan atau jasa seseorang.[4]
c)    Ma`qud `alaih (barang) harus memenuhi syara`.
Dipandang tidak sah menyewa hewan untuk berbicara pada anaknya, karena hal itu sangat mustahil, begitu juga menyewa perempuan yang sedang haid untuk membersihkan masjid sebab diharamkan syara`.
d)   Kemanfatan benda dibolehkan menurut syara`.
Pemanfatan barang harus digunakan untuk perkara-perkara yang diperbolehkan syara`, seperti menyewa rumah untuk didiami, jaring untuk memburu, dan lain-lain.
e)    Tidak menyewa untuk pekerjaan yang diwajibkan kepadanya.
Seperti menyewa orang untuk shalat fardu, puasa , dan lain-lain.
f)    Tidak mengambil manfaat bagi diri orang  yang disewa.
Tidak menyewakan diri untuk perbuatan ketaatan, karena manfaatnya kembali pada dirinya, juga tidak mengambil manfaat dari sisa pekerjaannya, seperti menggiling gandum dan mengambil bubuknya atau tepungnya untuk dirinya.
g)   Manfaat ma`qud `alaih sesuai dengan keadaan yang umum.
Tidak boleh menyewa pohon untuk dijadikan jemuran atau tempat lindung, sebab tidak sesuai dengan manfaat yang dimaksud dalam ijarah.
4.    Syarat Barang Sewaan (ma`qud `alaih)
Diantara syarat barang sewaan adalah dapat dipegang atau dikuasai. Hal ini didasarkan pada hadis Rasulullah SAW, yang melarang menjual barang yang tidak dapat dipegang atau dikuasai, sebagaimana dalam jual beli.
5.    Syarat Ujrah (upah)
Para ulam telah menetapkan syarat upah, yaitu:
a.       Berupa harta tetap yang dapat diketahui.
b.      Tidak boleh sejenis dengan barang manfaat ijarah, seperti upah menyewa rumah untuk ditempati dengan menempati rumah tersebut.
6.    Syarat yang kembali pada Rukun Akad
Akad disyarat harus terhindar dari syarat-syarat yang tidak diperlukan atau syarat-syarat yang merusak akad, seperti menyewakan rumah dengan syarat rumah tersebut akan ditempati oleh pemiliknya selama sebulan, kemudian diberikan kepada penyewa.
7.    Syarat Kelaziman
Syarat kelaziman ijarah terdiri atas dua hal berikut;
a.       Ma`qud `alaih (barang sewaan) terhindar dari cacat.
Jika terdapat cacat, penyewa boleh memilih antara meneruskan denagan nmembayar penuh atau membatalkanya.
b.      Tidak ada uzur yang membatalkan akad.
Ulam Hanafiyah berpendapat bahwa ijarah batal karena adanya uzur. Uzur yang dimaksud adalah sesuatu yang baru yang menyebabkan kemadaratan bagi yang akad, uzur dikategorikan menjadi tiga macam;
§  Uzur dari pihak penyewa, seperti berpindah-pindah dalam mempekerjakan sesuatu sehingga tidak menghasilkan apa-apa, atau pekerjaan sia-sia.
§  Uzur dari pihak yang disewa, seperti barang yang disewakan harus dijual untuk membayar utang dan tidak ada jalan lain, kecuali menjualnya.
§  Uzur pada barang yang disewa, seperti menyewa kamar mandi, tetapi menyebabkan penduduk dan penyewa harus pindah.
Menurut jumhur ulama, ijarah adalah akad lazim, seperti jual beli. Oleh karen itu, tidak bisa batal tanpa adanya sebab yang membatalkan. Menurut ulam Syafi`iyah, jika tidak ada uzur, tetapi masih memungkinkan untuk diganti dengan barang lain, ijarah tidak batal. Ijarah dapat dikatakan batal jika kemanfaatanya benar-benar hilang.[5]
C.  Macam-macam Ijarah dan Hukumnya
Ijarah ada dua macam:
1.      Ijarah atas manfaat, disebut juga sewa-menyewa dimana obyek akadnya adalah manfaat dari suatu benda. Hukumnya dibolehkan atas manfaat yang mubah, seperti rumah untuk tempat tinggal. Adapun manfaat yang diharamkan maka tidak boleh disewakan, karena barangnya disewakan. Dengan demikian tidak boleh mengambil imbalan untuk manfaat yang diharamkan ini, seperti bangkai dan darah.
2.      Ijarah atas pekerjaan, disebut juga upah-mengupah, dan obyek akadnya adalah amal atau pekerjaan seseorang. Ijarah ini merupakan suatu akad ijarah untuk untuk melakukan suatu perbuatan tertentu. Misalnya membangun rumah, menjahit pakaian, mengangkut barang dan sebagainya. Orang yang melakukan pekerjaan disebut ajir atau tenaga kerja.
Ajir atau tenaga kerja ada dua macam:
1.    Ajir atau tenaga kerja khusus, yaitu orang yang bekerja pada satu orang untuk masa tertentu. Dalam hal ini ia tidak boleh bekerja pada orang lain. Contohnya orang yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga pada orang tertentu.
2.    Ajir atau tenaga kerja musytarak, yaitu orang yang bekerja pada lebih dari satu orang sehingga mereka bersekutu didalam memanfaatkan tenaganya. Contohnya tukang jahit. Hukumnya ajir tersebut boleh bekerja untuk semua orang, dan orang yang menyewa tenaganya tidak boleh melarangnya bekerja pada orang lain. Ia (ajir) tidak berhak atas upah kecuali dengan bekerja.[6]
           










BAB III
Penutup
Kesimpulan
            Ijarah menurut istilah syara` ialah: memberikan suatu benda kepada seseorang untuk diambil manfaatnya dari benda tersebut, dengan ketentuan orang yang menerima benda tersebut memberi tukaran sebagai bayaran penggunaan manfaat barang yang dipergunakan tersebut. Ijarah ini berdasarkan  Al-Qur`an (Ath-Thalaq: 6) dan (Al-Qashash: 26-27), Hadis Aisyah, dan ijma`.
            Menurut Jumhur ulama, rukun ijarah ada 4, yaitu: `Aqid (orang yang aqad), shighat akad, ujrah (upah), dan manfaat. Sedang syarat iajarah anatara lain: syarat terjadinya aqad, syarat pelaksanaan (an-nafadz), syarat sah ijarah, syarat barang sewaan (ma`qud `alaih), syarat ujrah (upah), syarat yang kembali pada rukun akad, syarat kelaziman.
            Ijarah ada dua macam: ijarah atas manfaat, disebut juga sewa-menyewa dimana obyek akadnya adalah manfaat dari suatu benda dan ijarah atas pekerjaan, disebut juga upah-mengupah, dan obyek akadnya adalah amal atau pekerjaan seseorang.















Daftar Pustaka
Umam, Chatibun. 1995. Fiqih Untuk Madrasah Tsanawiyah. Kudus: Menara Kudus.
Syafe`I, Rachmat. 2004. Fiqih Muamalah. Bandung: Pustak Setia.
Muslich, Ahmad Wardi. 2010. Fiqh Muamalah. Jakarta: Amzah.





























[1] Prof. DR. H. Chatibun Umam. Fiqih Untuk Madrasah Tsanawiyah. Hlm: 219.
[2] Prof. DR. Rachmat Syafe`I, MA. Fiqih Muamalah. Hlm: 121-122.
[3] Drs. H. Ahmad Wardi Muslich. Fiqh Muamalah. Hlm: 318-319.
[4] Prof. DR. Rachmat Syafe`I, MA. Fiqih Muamalah Hlm: 123-124.
[5] Ibid. Hlm: 128-130
[6]Drs. H. Ahmad Wardi Muslich. Fiqh Muamalah. Hlm: 329-333.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar