BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Hubungan cinta kasih
wanita dengan pria, setelah melalui proses dan pertimbangan , biasanya
dimantapkan dalam sebuah tali perkawinan, hubungan dan hidup bersama
secara resmi selaku suami istri dari segi hukum, agama dan adat.
Di Jawa seperti juga
ditempat lain, pada prinsipnya perkawinan terjadi karena keputusan
dua insan yang saling jatuh cinta.Itu merupakan hal yang prinsip. Meski ada
juga perkawinan yang terjadi karena dijodohkan orang tua yang terjadi dimasa lalu.Sementara
orang-orang tua zaman dulu berkilah melalui pepatah : Witing tresno
jalaran soko kulino, artinya : Cinta tumbuh karena terbiasa.
Di Jawa dimana
kehidupan kekeluargaan masih kuat, sebuah perkawinan tentu akan mempertemukan
dua buah keluarga besar. Oleh karena itu, sesuai kebiasaan yang berlaku, kedua
insan yang berkasihan akan memberitahu keluarga masing-masing bahwa
mereka telah menemukan pasangan yang cocok dan ideal untuk dijadikan
suami/istrinya.
Perkawinan merupakan hak dan
sunnah kehidupan yang harus dilalui oleh seseorang dalam kehidupan
"normalnya". Setiap manusia dewasa yang sehat secara jasmani dan
rohani pasti membutuhkan teman hidup yang berlainan jenis kelaminnya. Teman
hidup itu diharapkan dapat memenuhi hasrat biologisnya, dapat dikasihi dan
mengasihi, serta dapat diajak bekerja sama mewujudkan sebuah rumah tangga yang
tentram, dan sejahtera.
Dalam Bahasa Arab perkawinan disebut dengan nikah yang berarti berkumpul menjadi satu. Karena itu nikah secara istilah seringkali diartikan sebagai suatu aqad yang berisi pembolehan melakukan hubungan seksual dengan menggunakan lafal inkahin (menikahkan) atau tazwijin (mengawinkan) (Rasjid: 2004, 174). Peristiwa hukum berupa pernikahan dalam agama Islam dianjurkan dengan berbagai bentuk, mulai penyebutan sebagai sunnah para nabi dan rasul yang harus diikuti oleh setiap insan beriman atau sebagai bentuk ayat (tanda-tanda) kebesaran Allah.
Dalam Bahasa Arab perkawinan disebut dengan nikah yang berarti berkumpul menjadi satu. Karena itu nikah secara istilah seringkali diartikan sebagai suatu aqad yang berisi pembolehan melakukan hubungan seksual dengan menggunakan lafal inkahin (menikahkan) atau tazwijin (mengawinkan) (Rasjid: 2004, 174). Peristiwa hukum berupa pernikahan dalam agama Islam dianjurkan dengan berbagai bentuk, mulai penyebutan sebagai sunnah para nabi dan rasul yang harus diikuti oleh setiap insan beriman atau sebagai bentuk ayat (tanda-tanda) kebesaran Allah.
Diantara bukti telah sahnya
sebuah hubungan perkawinan adalah diselenggarakannya acara resepsi perkawinan atau
walimah. Pesta perkawinan ini mengambil bentuk atau formatnya sendiri yang
berbeda-beda di setiap daerah. Di Ponorogo, yang paling populer adalah resepsi
perkawinan yang menggabungkan budaya jawa dan Islam sekaligus sebagai bukti
telah terjadinya “dialog budaya”, adaptasi, dan akulturasi (peleburan) di
dalamnya.
Pembahasan tentang resepsi
perkawinan di Ponorogo dapat dianggap penting mengingat belum pernah
dilakukannya penelitian tentang hal ini disamping terjadinya perkembangan dan
dinamika dalam penyelenggaraan resepsi perkawinan adalah fenomena menarik untuk
dicermati. Pembahasan difokuskan pada resepsi perkawinan model Islam-Jawa
terutama pada acara Panggih/Temu Temanten, dinamika bentuk resepsi, hiasan,
simbol-simbol yang digunakan serta pemaknaan terhadap semua hal yang berkaitan
dengannya.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaiman prosesi perkawinan dan perkembanganya?
2.
Apa saja simbol-simbol, hiasan, yang ada dalam temu manten?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Prosesi Perkawinan dan Perkembangannya
Panggih temanten atau temu
adalah resepsi pernikahan yang dilaksanakan di rumah mempelai wanita. Dalam
resepsi dengan basis budaya Jawa-Islam, susunan acaranya secara berurutan dapat
dibedakan dalam 2 kegiatan pokok, yaitu:
1. Ritual adat
a. Jemuk (Temu) Manten
Dalam ritual ini, susunan
acaranya berupa:
a) Balangan
Balangan adalah kegiatan
saling lempar antar pengantin yang hendak dipertemukan pada saat jarak mereka
sekitar tiga meter. Dalam balangan, bungkusan yang dilemparkan berisi daun
sirih, dan jadah (makanan dari ketan) yang ditali dengan benang putih. Mereka
saling melempar dengan penuh semangat dan tertawa. Dengan melempar daun sirih
satu sama lain, menandakan bahwa mereka adalah manusia, bukan makhluk
jadi-jadian yang menyamar jadi pengantin. Selain itu, jadah --yang kenyal dan
lengket-- dalam ritual ini melambangkan keeratan cinta kasih dan kesetiaan.
b) Salaman
Sebagai ungkapan kedatangan,
penganten pria mengucapkan salam dan disambut penganten wanita, lalu mereka
bersalaman. Penganten putri juga mencium tangan suaminya sebagai bentuk
penghormatan.
c) Ubengan
Dengan panduan perias,
penganten wanita berjalan memutari pasangannya selama tiga kali di sekitar
pasangan sapi (rangkaian bambu untuk 2 sapi yang diletakkan di depan kereta
untuk memudahkan tarikan) yang telah disediakan. Kegiatan ini dimaksudkan
sebagai bentuk “perkenalan” antara kedua pengantin. Lewat perkenalan ini,
diharapkan masing-masing saling memahami kelebihan dan kekurangan pasangannya .
d) Injak telur (wiji dadi)
Pengantin pria melepaskan sandalnya
dan menginjak telor ayam dengan telapak kakinya. Pengantin putri lalu membasuh
kaki pengantin pria dengan air kembang dari bokor (bejana) yang sudah
disiapkan. Kegiatan ini dapat diartikan sebagai kesiapan pengantin pria untuk
menjadi kepala rumah tangga dan kesediaan pengantin wanita untuk melayani
suaminya. Di dalam rumah tangga yang baru dibentuk ini diharapkan juga akan
diperoleh hasil yang baik pula termasuk anak keturunan.
e) Minum parem
Kedua mempelai lalu diberi
minum oleh kedua orang tua mempelai wanita. Ibu terlebih dahulu meminumkan
parem kepada keduanya lalu dilanjutkan oleh bapak. Minum parem memberikan makna
bahwa kedua penganten hendaknya marem (puas) dengan pasangan yang dipilihnya.
Perkawinan adalah proses memilih pasangan hidup yang telah berlangsung lama.
Fokus dalam melihat pasangan hidup, dan kelebihannya diharapkan dapat menutup
kekurangannya.
Prosesi ini juga memberikan
peringatan kembali tentang pentingnya peran kedua orang tua dalam membesarnya
anak-anaknya. Mereka adalah orang yang pertama “menyuapi” anak-anak. Karenanya,
lewat kegiatan meminumkan parem kepada kedua pengantin, kewajiban berbakti
kepada mereka hendaknya mendapatkan perhatian bahkan setelah para anak
berkeluarga dan mendapatkan keturunan.
f) Gendong manten (pakai
sindur) menuju pelaminan
Setelah acara wiji dadi
(injak telur), ayahanda pengantin putri mendahului berjalan dimuka menuju kursi
pengantin, ibu pengantin putri memasang selendang (sindur) menutupi pundak
kedua pengantin. Selendang berisi kedua mempelai lalu ditarik oleh ayahanda dan
didorong oleh ibu. Gendong manten mengandung makna bahwa ayahanda pengantin
seharusnya menunjukan jalan kehidupan bagi kedua putranya sedang ibunda
mendukung dari belakang. Selain itu, acara ini juga memberikan lambang bahwa kedua
orangtua pengantin perempuan telah ngentaske atau menyelesaikan tugas/kewajiban
mereka kepada anaknya lewat menikahkannya dengan pengantin pria.
g) Tukar kembang mayang
Dalam upacara Panggih,
kembar mayang biasanya berjumlah empat buah dan diletakkan di sebelah kanan dan
kiri dekor/rono. Ketika upacara panggih akan dimulai, dua buah kembar mayang
dikeluarkan oleh dua orang manggolo (yang ditunjuk untuk menjemput pengantin
pria), sedangkan dua kembar mayang yang lain dibawa oleh dua orang putri domas mengiringi
penganten putri. Saat ritual adat berlangsung dalam jemuk pengantin, dua buah
kembar mayang yang mengiringi pengantin pria (dari luar) ditukarkan dengan dua
kembar mayang yang mengiringi pengantin putri. Kedua kembar mayang dari luar
tersebut selanjutnya mengiringi kedua mempelai hingga pelaminan. Sedangkan dua
kembar mayang yang lain dibawa keluar dari tempat resepsi dan biasanya dibuang
di atas genting tuan rumah (orang tua pengantin wanita).
Pertukaran kembang mayang memberikan arti telah “ditukarnya” kedua mempelai dan bergabungnya mereka dalam keluarga baru mertuanya sehingga menjadi ibarat anak sendiri.
Pertukaran kembang mayang memberikan arti telah “ditukarnya” kedua mempelai dan bergabungnya mereka dalam keluarga baru mertuanya sehingga menjadi ibarat anak sendiri.
b. Mapag Besan
Ketika ritual jemuk
berlangsung, kedua orang tua mempelai pria tidak mengikuti ritual tersebut dan
sebaliknya berada di luar ruang resepsi. Lalu setelah jemuk selesai, kedua
orang tua pengantin wanita menjemput kedua orang tua pengantin pria dipintu
rumah dan mereka berjalan bersama menuju tempat upacara. Para
ibu di depan dan para bapak mengikuti di belakang. Kemudian pasangan orang tua
pria ini duduk disamping kanan kursi pengantin. Sedangkan orang tua pengantin
putri duduk disebelah kiri dari kursi pengantin. Prosesi ini menandakan bentuk
penghormatan tuan rumah kepada kadang besan (saudara) mereka.
c. Sungkeman
Kedua pengantin haruslah
minta doa restu dari kedua orang tua, pertama kepada orang tua pengantin
wanita, dan selanjutnya kepada orang tua pengantin pria. Kedua pengantin
berjongkok dan (seakan) menyembah orang tua mereka. Para
orang tua menerima sungkem kedua mempelai mengan mengulurkan tangan kanan untuk
dijabat dan dicium, sedangkan tangan kiri mengelus kepala pengantin. Kegiatan
memohon doa restu ini disebut sungkeman. Selama sungkeman, perias mengambil dan
menyimpan keris yang dipakai pengantin pria dan dipakaikan kembali setelah
sungkeman selesai.
d. Kacar kucur
Acara ini juga sering
disebut dengan Tampa Kaya. Dengan dipandu perias, pasangan pengantin berjalan
bergandengan pada jari kelingking menuju ke sebuah kursi yang telah diletakkan
didepan rono/dekorasi manten. Pengantin pria menuangkan campuran kedele, kacang
tanah, beras, beras ketan, jagung disertai rempah-rempah, bunga dan mata uang
logam dengan berbagai nilai. Pengantin wanita menerima itu dengan selendang
kecil setelah itu kemudian dilipat.
Kacar kucur melambangkan
bahwa seorang suami harus memberikan penghasilannya kepada sang istri.
Sebaliknya, seorang pengantin wanita haruslah siap menjadi istri yang baik
dalam menerima pemberian suami, bersikap peduli, hemat dan juga teliti.
e. Dulangan Sega Punar (Dahar
Kembul)
Pasangan pengantin makan
bersama dan saling menyuapi. Perias memimpin upacara ini dengan memberikan
piring berisikan nasi kuning dan lauk pauk, kemudian pasangan pengantin ini
mengambil sesendok kecil nasi dengan lauk pauknya dan pertama kali pengantin
wanita menyuapi pengantin pria dan selanjutnya pengantin pria menyuapi
pengantin wanita. Acara dulangan ini diakhiri minum teh manis. Ini melambangkan
bahwa kedua mempelai menikmati kebersamaan mereka. Kehidupan keluarga juga
diharapkan selalu berakhir “manis” meskipun kegetiran dan perjuangan merupakan
hal yag nyata dalam perkawinan. (Hasil wawancara dengan Modin Ibn Batutah dan
Perias Ibu Lia ).
Prosesi ritual adat tersebut
merupakan “versi lengkap” dari sebuah adat pernikahan Islam-Jawa. Dalam banyak
kasus, ritual tersebut berlangsung tidak lengkap dan disederhanakan dengan
berbagai alasan dan pertimbangan. Dalam perkawinan Panggih Temanten antara
Listia Puspitorini, ST dan Beny Sukanto, SS ., ritual adat hanya berupa
salaman, wijik suku, ubengan, gendongan, dan Tukar kembang mayang. Acara
kemudian dilanjutkan dengan mapag besan, sungkeman, dan dahar kembul. Prosesi
balangan dan kacar kucur ditiadakan. Sedangkan injak telur (wiji dadi)
disederhanakan menjadi wijik suku atau membasuh kaki suami saja. Menurut Ibu
Lia, perias pengantin, prosesi ritual adat dalam banyak perkawinan lain sangat
sederhana dan hanya berupa salaman, minum parem, gendongan, sungkeman, dan
dulangan atau dahar kembul. Sedangkan balangan, injak telur atau wiji dadi,
kacar kucur, dan mapag besan sering ditinggalkan. Alasan yang sering digunakan
adalah menghemat waktu. (Observasi dan wawancara dengan perias Ibu Lia)
Sementara itu juga muncul usaha-usaha “islamisasi” ritual adat tersebut. Injak telur (wiji dadi) misalnya, ketika pengantin pria menginjak telur di geneman (bungkusan) kembang setaman, telur langsung pecah dan biasanya menyebabkan bau yang amis. Menyadari hal tersebut, ada kiat untuk membungkus telur di plastik, sehingga mengurangi bau amis dan menghindari praktek mubadzir, karena telur yang pecah masih bisa dimanfaatkan sesudah itu dengan digoreng atau dimasak. (wawancara dengan modin Ibn Bathutah).
Sementara itu juga muncul usaha-usaha “islamisasi” ritual adat tersebut. Injak telur (wiji dadi) misalnya, ketika pengantin pria menginjak telur di geneman (bungkusan) kembang setaman, telur langsung pecah dan biasanya menyebabkan bau yang amis. Menyadari hal tersebut, ada kiat untuk membungkus telur di plastik, sehingga mengurangi bau amis dan menghindari praktek mubadzir, karena telur yang pecah masih bisa dimanfaatkan sesudah itu dengan digoreng atau dimasak. (wawancara dengan modin Ibn Bathutah).
2. Acara resepsi perkawinan
Dengan dipandu seorang pembawa acara
a. Pembukaan
b. Bacaan ayat-ayat suci
Al-Qur’an
Untuk mengharapkan berkah
dari Allah Swt, setelah acara dibuka maka dilanjutkan dengan bacaan ayat-ayat
Al-Qur’an. Diantara ayat-ayat yang sering dibaca oleh seorang qari’ dalam
sebuah resepsi adalah QS. al-Nisa : 1, 34, dan Qs. al-Rum: 21.
c. Atur mangayu bagya
(ucapan selamat datang)
Kegiatan ini merupakan
sambutan oleh tuan rumah yang diwakili oleh seorang juru bicara. Sambutan
meliputi ucapan selamat datang kepada para tamu, ucapan terima kasih atas
kehadiran mereka, dan permohonan maaf atas segala kekurangan dalam
penyelenggaraan resepsi pernikahan. Selain itu disampaikan pula ucapan terima
kasih terhadap kerabat, tetangga, dan segenap pihak yang membantu
terselenggaranya resepsi.
d. Tedhak sungging (Photo)
Acara pengambilan photo
(tedhak sungging) disisipkan diantara acara resepsi pernikahan sejak awal.
Pembawa acara mengambil peran penting dalam kesuksesan acara dokumentasi
perkawinan ini. Kegiatan photo diawali dari keluarga pengantin pria (sebagai
bentuk kehormatan), para undangan terpilih, dan diakhiri dengan keluarga
pengantin wanita sendiri sebagai tuan rumah.
e. Atur pasrah pinanganten
Sambutan ini disampaikan
oleh wakil keluarga penganten pria dan para pengiringnya. Juru bicara keluarga
besan (orang tua pengantin pria) ini menyerahkan pengantin pria dan
“pendidikan”nya untuk dapat menjadi suami yang baik. Ia juga menyampaikan
terima kasih atas segala keramahan tuan rumah dan hidangannya, serta memohon
maaf atas segala kekurangan dan tingkah laku para pengiring selama resepsi
berlangsung. Selebihnya ia menyampaikan undangan untuk acara sepasaran (resepsi
di rumah pengantin pria) dan memohon pamit untuk diri sendiri dan rombongannya.
f. Atur panampi
Atur panampi merupakan
jawaban tuan rumah atas seluruh isi sambutan juru bicara pengantin pria.
Karenanya, di dalamnya disampaikan kesediaan keluarga untuk menerima anak
menantu dan mendidiknya ke arah kebaikan, ucapan terima kasih kepada seluruh
pengiring pengantin, dan ungkapan “sama-sama” atas permohonan maaf mereka.
Selain itu disampaikan pula kesediaan keluarga pengantin putri untuk memenuhi
undangan sepasaran keluarga pengantin pria.
g. Mau’idzah hasanah
(pesan/nasehat perkawinan)
Mau’idzah hasanan adalah
pesan/nasehat pernikahan yang disampaikan oleh seorang muballigh atau pemuka
agama sebagai “bekal” bagi kedua mempelai untuk mengarungi kehidupan rumah
tangga.
h. Bacaan Do’a
Untuk mendapatkan barokah
dari pada tamu undangan, maka keluarga pengantin memohon doa restu dari mereka
lewat bacaan do’a yang dipandu oleh seorang atau beberapa orang kyai. Dalam keadaan
tertentu, do’a sering dipanjatkan oleh lebih dari satu orang kyai.
i. Penutup
Sebelum acara resepsi
ditutup, pembawa acara meminta perias temanten untuk memandu kedua pengantin
dan rombongannya menuju pintu keluar (masuk). Acara ditutup dan para tamu
undangan menyalami pengantin dan keluarga sambil berjalan pulang.
Sebagai penyela dan
penghangat suasana, diadakan acara hiburan berupa pemutaran kasset, CD, dan MP3
lagu-lagu maupun elekton dan seni hadrah secala live. Para
penyanyi tidak jarang yang menyapa dan menyanyi di tengah para tamu undangan.
Lagu demi lagu diperdengarkan di sela-sela acara “resmi” resepsi berlangsung.
Pembawa acara mengendalikan sepenuhnya acara hiburan sesuai dengan situasi dan
kondisi resepsi yang sedang berlangsung.
Dalam prakteknya, menurut
modin Ibn Batuthah, acara sambutan atur mangayu bagya saat ini sering digabung
dengan atur panampi. Sehingga wakil tuan rumah dan orang tua pengantin wanita
cukup berdiri memberikan sambutan sekali saja. Penggabungan ini dimaksudkan untuk
menghemat waktu. Mau’idzah hasanah atau khutbah walimah juga disampaikan secara
ringkas dan jelas. Bahkan untuk bacaaan do’a, tren yang berkembang adalah
diletakkan di awal acara setelah bacaan ayat suci al-Qur’an. Hal ini merupakan
“siasat” tuan rumah agar acara do’a yang dipanjatkan lebih berjalan khidmat
dengan tamu undangan yang masih utuh. Dengan pemampatan dan pengaturan acara
sedemikian rupa, diharapkan resepsi dapat berlangsung lebih cepat dengan durasi
waktu maksimal tidak lebih dari dua jam.
B.
Simbol-simbol, Hiasan, dan Maknanya
Budaya Jawa dikenal sangat
dipengaruhi oleh tradisi kratonnya. Dalam perkawinan yang berlatar belakang
budaya ini banyak sekali simbol-simbol budaya dan hiasan yang memiliki makna
tertentu yang berasal dari tradisi kraton tersebut. Latar belakang budaya Islam
yang diusung dalam sebuah perkawinan turut pula menyumbangkan pengaruhnya.
Diantara hal tersebut adalah:
1. Patah
Patah adalah dua anak kecil
putri yang berjalan di depan pengantin. Ketika pengantin duduk, mereka bertugas
untuk mengipasi keduanya.
2. Domas dan Manggolo
Domas atau putri domas
adalah dua orang gadis muda yang mengiringi pengantin wanita. Sedangkan
manggolo adalah dua orang anak muda yang mengiringi pengantin pria, meskipun
sesungguhnya berasal dari keluarga pengantin wanita. Masing-masing domas dan
manggolo membawa kembar mayang dan saling menukarkannya ketika prosesi jemuk
berlangsung. Putri domas dalam pernikahan ibarat dayang-dayang bagi seorang
ratu. Sedangkan para manggala adalah ibarat para punggawa kerajaan.
3. Janur kuning
Rangkain janur/bleketepe
kuning dipasang di gerbang atau pintu masuk tempat acara resepsi. Dari
pemasangan ini diharapkan akan hilang kemungkinan yang tidak diinginkan dan
sebagai tanda bahwa adanya pernikahan yang akan berlangsung dirumah tersebut.
Janur juga dapat dimaknai dengan “jalarane nur” atau bahwa rumah tangga sebagai
sarana untuk menghadirkan cahaya “pepadang” dalam sebuah kehidupan.
4. Kembar mayang
Kembar mayang merupakan
rangkaian yang dibuat dari bermacam daun dan banyak ornamen dari janur yang
dirangkai dan ditancapkan pada potongan pohon anak pisang. Dari janur dibuat
ornamen berbentuk tugu-tuguan/gunungan, uler-uleran, keris, manukan, dan pecut.
Sementara macam daun yang digunakan adalah daun beringin, andong, gondoroso,
dan mayang jambe.
Ornamen berbentuk tugu atau
gunung melambangkan simbol sosok laki laki yang (harus) penuh pengetahuan,
pengalaman dan kesabaran. Ornamen seperti keris memberikan makna bahwa pasangan
pengantin hendaknya berberhati-hati dalam kehidupan, pintar dan bijaksana
laksana sebuah keris. Ornamen uler-uleran merupakan simbol keajegan bergerak
dalam hidup terutama dalam keluarga dan lingkungan. Ornamen seperti pecut
memberikan dorongan untuk sikap energik, cepat berpikir dan mengambil keputusan
untuk menyelamatkan keluarga. Sedangkan ornamen seperti burung melambangkan
motivasi tinggi untuk kehidupan.
5. Pohon pisang lengkap dengan buah dan ontong-nya
Pohon pisang diletakkan di
sebekah kiri kanan gapura/pintu masuk tempat resepsi. Lebih diutamakan jika
buah pisang yang dipasang tersebut telah matang. Diantara makna yang dikandung
adalah bahwa suami hendaknya menjadi kepala keluarga ditengah kehidupan
bermasyarakat. Seperti pohon pisang yang bisa tumbuh baik dimanapun dan rukun
dengan lingkungan, diharapkan keluarga baru yang dipimpin suami ini juga akan
hidup bahagia, sejahtera dan rukun dengan lingkungan sekitarnya.
6. Cengkir gading
Cengkir gading atau kelapa
kecil berwarna kuning, melambangkan kencang dan kuatnya pikiran baik, sehingga
diharapkan kedua mempelai akan dengan sungguh-sungguh terikat dalam kehidupan
bersama yang saling mencinta.
7. Dekorasi (kwade) pengantin
Dekorasi atau background
hiasan pernikahan adalah sebuah kwade yang terdiri dari sebuah rono (krobongan)
dengan lebar sesuai dengan kapasitas ruangan. Hiasan bunga hidup atau palsu
melengkapi keindahan rono yang ada. Jika memungkinkan, taman dan air mancur
seringpula ditambahkan di depan rono.
Pemilihan bentuk dekorasi
dan warnanya turut menentukan corak dan warna pakaian yang akan dikenakan oleh
pengantin dan keluarganya dalam resepsi perkawinan.
8. Pakaian
Pada saat acara Jemuk
penganten berlangsung, kedua penganten mengenakan pakaian kebesaran kanalendran
solo seperti layaknya seorang raja dan ratu. Pengantin pria memakai baju hitam
beskap bludru lengkap dengan keris dan kuluk (topi tinggi khas raja jawa) nya,
atau jika terpaksa –seperti tinggi badan yang lebih dan tidak seimbang dengan
pengantin wanita-- maka ia menggunakan blangkon. Hiasan tambahan yang
dikenakannya adalah dasi kupu-kupu, kalung dan bros dari roncen bunga melati.
Pengantin wanita juga memakai baju bludru solo putri dengan gelungan dan hiasan
rangkaian bunga melati di rambut dan tiba dada (roncen melati yang menjuntai
dari gelungan rambut terus ke dada) di dada sebelah kiri. Nuansa gebyar,
“menyala” (warna mencolok), dan mewah biasanya sangat nampak untuk membedakan
pengantin dengan yang lainnya.
Pakaian orang tua (ayah)
kedua pengantin adalah pakaian kejawen berupa beskap lengkap dengan angkin,
sabuk, dan kerisnya. Kain (jarit) adalah motif truntum yang bermakna harapan
masa depan yang cerah. Pakaian ibu pengantin adalah kebaya dengan angkin
slindur. Kain yang dipakai sama dengan para bapak, yakni motif truntum.
Ketika acara resepsi
berlangsung dilakukan kirab temanten dan selanjutnya rombongan berjalan menuju
ruang ganti untuk lukar busana (ganti pakaian) yang bernuansa mataraman dan
lebih santai. Seluruh “rombongan” yang terdiri dari patah, domas, manggolo, dan
kedua pasang bapak-ibu turut berganti pakaian dan menyesuaian dengan corak yang
dipakai kedua pengantin.
Menutut perias Ibu Lia, tren
pakaian pengantin dan “keluarga” nya saat ini adalah busana jawa muslim. Tren
ini sangat nampak pada pengantin wanita, para ibu pengantin, patah, dan domas.
Pengantin wanita memakai jilbab melati dengan daleman (lapisan di bawah jilbab)
berwarna hitam seperti rambut atau warna kuning. Para
wanita selain pengantin wanita memakai kerudung dengan rambut tetap di-gelung.
9. Musik kebogiro dan syrakalan
Dengan lantunan musik
kebogiro yang dipergunakan mengiringi keseluruhan prosesi ritual adat
diharapkan menambah kehidmatan dan kesakralannya. Pemilihan musik “kebogiro
kedu” merupakan “bedah rangkah” atau pembuka acara selamatan/resepsi. Disamping
itu, musik syrakalan sering pula diperdengarkan untuk menggantikan kebogiro
atau diperdengarkan sebelum kebogiro.
Simbol-simbol dan hiasan
dalam pernikahan Jawa-Islam merupakan kekayaan budaya yang kaya makna. Menurut
praktisi dekorasi selain memiliki akar pada budaya jawa, hiasan pada pernikahan
juga memiliki landasan agamis. Dengan mengutip kitab al-Sab’iyyat yang
merupakan hamisy kitab al-Majalis al-Saniyyah halaman 111,menunjukkan hadith
yang menyebutkan bahwa Allah memerintah para malaikat untuk menghias surga
ketika Adam dan Hawa hendak menikah. Hanya saja lanjut Khalil, semua itu
hanyalah “pelengkap” yang tidak perlu ditolak dan juga tidak perlu dipaksakan
keberadaannya. Yang lebih penting imbuhnya adalah sosialisasi “makna-makna”
tersebut agar dapat dipahami lebih baik oleh masyarakat.
Dari uraian diatas dapat
dipahami bahwa aspek simbol-simbol dan hiasan pada perkawinan memiliki makna
yang cukup kaya dan mendalam. Kekayaan budaya ini hanya akan berupa simbol dan
hiasan kosong jika tidak ada upaya untuk mensosialisasikannya. Kenyataan di
lapangan menunjukkan bahwa hanya orang-orang tertentu saja seperti perias,
modin, dan praktisi dekor yang memahami makna-makna tersebut. Pemahaman yang
baik ini pada gilirannya akan memberikan tuntunan yang cukup bagi kedua
mempelai dan masyarakat dalam mengarungi kehidupan keluarga, disamping
mengarahkan dan mengendalikan upaya-upaya modernisasi dan “penyederhanaan”
terhadap kekayaan budaya dalam panggih temanten agar tidak terkesan “lepas” dan
sekenanya.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Panggih Temanten atau temu
manten dalam perkawinan dengan adat Jawa-Islam memiliki “pakem” tertentu baik
dalam ritual adat, susunan acara resepsi, maupun hiasan dan simbol yang
digunakan. Dalam perkembangan terakhir didapati adanya upaya penyesuaian
terhadap kemajuan zaman dan efisiensi waktu dalam penyelenggaraan.
Penyederhanaan ritual adat
dilakukan dengan “pemangkasan” ritual. Sedangkan penyederhanaan dalam resepsi
dilakukan dengan penggabungan antara beberapa acara seperti atur mangayu bagya
(sambutan selamat datang) dengan atur panampi menjadi satu acara .
Simbol-simbol dan hiasan
perkawinan yang kaya makna juga mengalami hal yang sama. Penyesuaian terhadap
mode dan efisiensi acara turut mempengaruhi penampilannya. Disamping itu upaya
islamisasi turut mempengaruhi pemaknaan dengan sudut pandang berbeda disamping
juga menghadirkan paduan baru dalam bentuk dan corak.
Makna dalam simbol-simbol
dan hiasan dalam perkawinan adalah kekayaan budaya yang memberikan banyak
pelajaran hidup. Upaya untuk menggali dan mensosialisasikannya merupakan hal
urgen untuk melestarikan budaya tersebut. Upaya-upaya kontemporer untuk
menyederhakan ritual dan resepsi pernikahan juga akan tidak menjadi lepas
sekaligus begitu saja meninggalkan budaya ini jika makna-makna tersebut dipahami
dan tersosialisasi dengan baik. Wallahu a’lam.
Daftar
Pustaka
Sudah menjadi SALAH KAPRAH. Pelaksanaan PANGGIH dengan IJAB.
BalasHapusKebanyakan tulisan mengatakan acara panggih HARUS DILAKSANAKAN setelah acara IJAB. Coba kita bertanya MENGAPA …. ???? inilah karena kita mencampuradukkan antara pernikahan ADAT dengan pernikahan AGAMA.
Harusnya TIDAK BOLEH begitu. PERNIKAHAN AGAMA itu sifatnya HARUS MENGESAHKAN terjadinya PERNIKAHAN ADAT. Bukan sebaliknya.
Apa sebenarnya yang terjadi manakala IJAB dulu baru PANGGIH. Yang terjadi adalah SELURUH rangkaian acara mulai dari pemasangan BLEKETEPE sampai dengan Malam Midodareni …. menjadi GUGUR MAKNANYA … karena SEBELUM acara PANGGIH, kedua calon Pengantin SUDAH HARUS KETEMU DULU …. untuk kepentingan ACARA IJAB.
Kalau kita mau melaksanakan secara benar, seharusnya acara PANGGIH dilaksanakan dahulu, kemudian baru DISAHKAN SECARA AGAMA dengan proses IJAB KABUL, atau Penerimaan Sakramen Perkawinan, atau acara keagamaan lainnya yang sifatnya MENGESAHKAN rangkaian acara ADAT tersebut. Setelah SAH baru RESEPSI.
Dengan demikian, Makna acara adat secara LENGKAP terpenuhi, dan PENGESAHAN SECARA AGAMA juga terpenuhi.
Demikian semoga para Juru Paes memahami peran AGAMA sebagai YANG MENGESAHKAN PERNIKAHAN TERSEBUT, tanpa mengurangi MAKNA LUHUR RANGKAIAN UPACARA ADAT yang Adi Luhung warisan Leluhur kita.