Sabtu, 29 Oktober 2011

Filsafat, Ilmu dan Agama


BAB I
PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang
Berfilsafat kerap dianggap kegiatan yang hanya dilakukan oleh para arif bijaksana. Olah pikir hamper selalu dihubungkan dengan para cendikiawan, kaum terpelajar dan mereka yang mempunyai waktu luang. Orang awam atau kebanyakan masyarakat seolah-olah tidak berfilsafat, mereka dianggap kurang berfikir.
Hal tersebut bisa dimaklumi, terutama jika diungkit asal-usul dan sejarah filsafat. Pada zaman Yunani kuno, kegiatan berfilsafat memang hanya dilakukan oleh kaum elite tertentu. Para ahli pikir (filsuf) saat itu menggunakan seluruh daya dan kemampuannyauntuk menerangkan berbagai fenomena. Mereka heran akan gejala alam. Mereka bertanya-tanya mengenai asal-usul segala sesuatu. Mereka juga menggugat apa yang mereka anggap oleh umu sebagai hakekat. Mereka juga merenungkan segala peristiwa lalu mencari tali-temali dan menyimpulkannya.
Untuk berfilsafat mereka dapat berpikir bebas dalam alam filsafat itu, bukanlah berpikir sesuka hati mereka, membabi buta dan tanpa aturan melainkan bebas terikat. Seorang agamawan yang berfikir dengan sedalam-dalamnya tanpa sesuatu maksud selain mencari yang haq dan kebenaran yang selalu mengindahkan disiplin dan hukum-hukum berpikir, akan sampailah kepada kebenaran itu dan tindakan menyesatkan.
Berangkat dari latar belakang diatas, maka kami akan mencoba untuk membahas topik yang kami tulis dalam sebuah makalah yang berjudul “FILSAFAT, ILMU DAN AGAMA”.
B.   Rumusan Masalah
1.    Bagaimana Definisi Filsafat?
2.    Bagaimana Pengertian Ilmu?
3.    Bagaimana Definisi dari Agama?
4.    Bagaimana Perbedaan dan Ruang Pembahasan Filsafat, Ilmu dan Agama?












BAB II
PEMBAHASAN
A.   Pengertian Filsafat
Istilah “filsafat” dalam bahasa Indonesia memiliki padanan kata falsafah (Arab), philosophy (Inggris), Philosophia (Latin), philosophie (Jerman, Belanda, Perancis). Semua istilah itu bersumber pada istilah Yunani philosophia. Istilah Yunani philen berarti “mencintai”, sedangkan philos berarti “teman”. Selanjutnya istilah sophos berarti “bijaksana”, sedangkan Sophia berarti “kebijaksanaan”.
Menurut sejarah, Pythagoras (572-497 SM) adalah orang yang pertama kali memakai kata philosophia. Beliau mengemukakan bahwa manusia dapat dibagi menjadi tiga tipe : mereka yang mencintai kesenangan, mereka yang mencintai kegiatan dan mereka yang mencintai kebijaksanaan. Tujuan kebijaksanaan dalam pandangannya menyangkut kemajuan menuju keselamatan dalam hal keagamaan. Shopia mengandung arti yang lebih luas daripada kebijaksanaan, yaitu : 1). Kerajinan, 2). Kebenaran pertama, 3). Pengetahuan yang luas, 4). Kebajikan intelektual, 5). Pertimbangan yang sehat, 6). Kecerdikan dalam memutuskan hal-hal yang praktis,. Dengan demikian asal mula kata filsafat itu sangat umum, yang intinya adalah mencari keutamaan mental (the pursuit of mental exelence).
Filsafat mencoba menggabungkan kesimpulan-kesimpulan dari berbagai ilmu dan pengalaman manusia menjadi suatu pandangan dunia yang konsisten. Para filsuf berhasrat meninjau kehidupan tidak dengan sudut pandang yang khusus sebagaimana yang dilakukan oleh para ilmuan.
B.   Pengertian Ilmu
Kata ilmu merupakan terjemahan dari kata dalam bahasa Inggris; Science. Kata science ini berasal dari kata Lati Scientia yang berarti pengetahuan. Kata scientia berasal dari bentuk kata scire yang berarti mempelajari, mengetahui. Jadi pengertian ilmu yang terdapat dalam kamus Bahasa Indonesia adalah pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara sistematis menurut metode-metode tertentu, yang dapat digunakan menerangkan gejala-gejala tertentu di bidang (pengetahuan) itu.
The Lian Gie (1987) memberikan pengertian ilmu dalah rangkaian aktivitas penelaahan yang mencari penjelasan suatu metode untuk memperoleh pemahaman secara rasional mengenai dunia ini dalam berbagai segi dan keseluruhan pengetahuan sistematis yang menjelaskan berbagai gejala-gejala yang ingin dimengerti manusia.
Ilmu adalah suatu bentuk aktivitas manusia yang melalui pelaksanaannya umat manusia memperoleh suatu pengetahuan dan pemahaman tentang alam yang senantiasa lebih cermat dan meningkat.
Ilmu dapat diartikan sebagai kumpulan pengetahuan yang merupakan hasil berpikir manusia. Hasil yang berupa pengetahuan inilah yang menjadi cirri kedua dari ilmu, yaitu sebagai produk.
Kedua cirri dasar ilmu, yaitu wujud aktivitas manusia dan hasil aktivitas tersebut, meruapakan sisi yang tidak terpisahkan dari cirri ketiga yang diliki oleh ilmu, yaitu metode.
C.   Pengertian Agama
Para pemikir barat tidak sepakat dalam memberikan definisi agama, masing-masing menyifatkan agama dari pandang yang berbeda-beda. Hal ini menyebabkan kefahaman mereka terhadap agama dangkal dan tidak adil menurut islam. Dalam Encyclopedia of Philosophy, para filsuf memberikan definisi masing-masing, ada yang mengatakan agama itu tidak lebih daripada konsep morality (akhlaq), ada juga yang mengatakan agama itu sesuatu yang menyentuh hal-hal ruhaniyah (spiritual) dan ada pila yang mendefinisikan agama dengan ritual atau upacara penyembahan.
Menurut pandangan islam, yang sangat berbeda dengan persepsi barat, agama adalah cara hidup, cara berpikir, berideologi dan bertindak. Agama berperan dalam membentuk pribadi insan kamil, disamping itu juga membentuk masyarakat ideal. Agama menitik beratkan dalam pembentukan moral dan spiritual sebuah masyarakat. Inilah dinamika agama menurut islam. Jadi apa yang dianggap oleh filsuf barat adalah tidak lengkap (bukan agama) menurut pandangan islam, ataupun islam bukan hanya sekedar agama dalam pengertian filsuf barat yang sempit.
D.   Perbedaan dan Ruang Pembahasan Filsafat, Ilmu dan Agama
1.    Perbedaan Filsafat dan Ilmu
Filsafat dan ilmu adalah dua kata yang saling memiliki keterkaiatan, baik substansial maupun historis. Karena kelahiran ilmu tidak lepas dari peranan filsafat, sebaliknya perkembangan ilmu memperkuat keberadaan filsafat. Filsafat telah berhasil mengubah pola pemikiran manusia dari pandangan mitosentris dan logosentris.
Perubahan mitosentris ke logosentris, membawa implikasi yang tidak kecil. Alam dengan segala gejala-gejalanya, yang selama ini ditakuti kemudian didekati dan bahkan dieksploitasi. Perubahan yang mendasar adalah ditemukannya hokum yang terjadi, baik dalam makrokosmos maupun mikrokosmos. Dari penelitian makrokosmos (alam jagad raya) bermunculan ilmu astronomi, fisika, kimia dan sebagainya. Sedangkan dari mikrokosmos (jiwa/manusia) muncul ilmu biologi, psikologi, sosiologi dan sebagainya. Ilmu-ilmu tersebut kemudian menjadi lebih terspesialisasi dalam bentuk yang lebih kecil dan sekaligus semakin aplikatif dan terasa manfaanya.
Pada dasarnya ilmu dan filsafat mempunyai dua objek, yaitu ; objek material dan objek formal. Objek material adalah sesuatu yang dijadikan sasaran penyeledikan, seperti tubuh manusia adalah objek material dalam ilmu kedokteran. Adapaun objek formal adalah metode untuk memahami objek material tersebut. Sedangkan objek material dalam filsafat adalah segala yang ada mencakup ada yang tampak dan ada yang tidak tampak. Adanya yang tampak adalah dunia empiris, sedangkan ada yang tidak tampak adalah alam metafisika. Sebagian filsuf membagi objek material filsafat ada tiga, yaitu ; a). yang ada dalam alam empiris, b). yang ada dalam pikiran, serta c). yang ada dalam kemungkinan. Adapun objek formalnya adalah pandangan yang bersifat menyeluruh, radikal dan rasional tentang segala yang ada.
Cakupan objek filsafat lebih luas dibandingkan dengan objek ilmu, karena ilmu hanya terbatas pada persoalan empiris saja, sedangkan filsafat mencakup yang empiris dan non empiris. Secara histori, ilmu berasal dari kajian filsafat, karena awalnya filsafatlah yang melakukan pembahasan tentang segala yang ada ini secara empiris, sistematis, rasional dan logis termasuk hal yang empiris.
Oleh karena itu, filsafat oleh para filsuf disebut sebagai induk ilmu (science mother). Sebab, dari filsafatlah ilmu-ilmu modern dan kontemporer berkembang, sehingga manusia dapat menikmati ilmu dan sekaligus buahnya. Bahkan dalam perkembangannya, filsafat tidak hanya dipandang sebagai induk ilmu dan sumber ilmu, melainkan sudah menjadi bagian dari ilmu itu sendiri yang juga mengalami spesialisasi.
2.    Perbedaan Filsafat dan Agama
Ada dua perkataan yang sering dipahami secara keliru, yaitu filsafat dan agama. Keduanya meliputi bidang yang sama, yaitu pada bidang yang terpenting, yang menjadi persoalan hidup dan mati dan bukan persoalan yang remeh.
Perbedaan filsafat dan agama terletak bukan pada bidangnya, melainkan dalam cara kita menyelidiki bidang itu sendiri. Filsafat berarti memikir sedangkan agama berarti mengabdikan diri, orang yang belajar filsafat tidak saja mengetahui soal filsafat saja, melainkan lebih dari itu mereka dapat berpikir. Begitu juga dengan orang yang belajar agama, tidak hanya mengetahui pengetahuan agama, tetapi memerlukan cara bagaimana dapat membiasakan diri dengan hidup beragama.
Seorang ahli agama, yang bernama “William Temple”, berkata : “Filsafat itu telah menuntut pengetahuan untuk memahami, sedangkan agama adalah menuntut pengetahuan untuk beribadat”. Ia juga mengatakan ; “Pokok dari agama bukan pengetahuan tentang Tuhan, melainkan hubungan antara seorang manusia (makhluk) dengan Tuhannya.
Pendapat lain juga diutarakan oleh “C.S. Lewis”; dia menyatakan adanya perbedaan antara dua hal, yaitu enjoyment dan contemplation. Untuk memahami dua kata tersebut ada salah satu contoh sebagai berikut ; “Seorang laki-laki mencintai seorang wanita, rasa cinta tersebut dinamakan enjoyment. Sedangkan memikirkan rasa cintanya dinamakan contemplation”. Agama dapat dibandingkan dengan enjoyment tersebut, secara kongkrit dapat disamakan dengan rasa cinta seseorang, sedangkan filsafat itu adalah contemplation, yakni memikirkan yang dicintai tentang rasa cintanya tersebut.
Suatu perbedaan yang lain adalah, bahwa agama banyak berhubungan dengan hati, sementara filsafat banyak berhubungan dengan pikiran yang dingin dan tenang. Serta perbedaan yang lebih jauh antara filsafat dengan agama ialah, bahwa filsafat walaupun tenang dalam pekerjaannya, tetapi dapat mengeruhkan pikiran pemeluknya. Sedangkan dalam agama, walaupun memenuhi pemeluknya dengan semangat dan perasaan pengabdian diri akan tetapi mempunyai efek yang menenangkan jiwa pemeluknya.
Oleh karena itu, berfikir atau berfilsafat adalah hal penting dalam mempelajari agama, karena manusia telah banyak berpengalaman dan telah banyak melakukan kekeliruan dalam berpikir. Maka, telah dapat pula mengadakan macam-macam cara atau metode untuk menghindari diri dari kekeliruan-kekeliruan tersebut.
3.    Perbedaan Ilmu dengan Agama
Agama dan ilmu dalam beberapa hal berbeda, namun pada sisi tertentu memiliki kesamaan. Agama lebih mengedepankan moralitas dan menjaga tradisi yang sudah mapan (ritual), cebderung eksklusif dan subjektif. Sementara ilmu selalu mencari hal yang baru, tidak terlalu terikat dengan etika, progresif, bersifat inklusif dan objektif. Kendati ilmu dan agama berbeda, keduanya memiliki persamaan, yakni sama-sama bertujuan memberi ketenangan dan kemudahan bagi manusia.
Agama memberi ketenangan dari segi batin karena ada janji kehidupan setelah mati, sedangkan ilmu memberi ketenangan dan sekaligus kemudahan bagi kehidupan di dunia. Agama mendorong umatnya untuk menuntut ilmu, hamper semua kitab suci menganjurkan umatnya untuk menuntut ilmu sebanyak mungkin.
Agama dan ilmu juga memiliki kesamaan lain, yakni sama-sama mendesai masa depan manusia. Desain agama lebih jauh dan abstrak, sedangkan desain ilmu dan teknologi lebih pendek dan kongkrit.desain agama untuk memberikan ketenangan hidup setelah hidup, dan ilmu mendesain untuk hidup pada masa depan di dunia.








BAB III
PENUTUP
A.   Kesimpulan
1.    Pengertian Filsafat
Filsafat adalah ilmu yang menjadi pokok pangkal dari segala pengetahuan, yang menelaah hal-hal yang mutlak yang tetap tidak berubah yang disebut hakekat.
2.    Pengertian Ilmu
Ilmu adalah pengetahuan yang bersifat empiris, sistematis, dapat diukur dan dibuktikan, atau pengetahuan yang teratur dan lebih terspesialisaikan.
3.    Pengertian Agama
Agama adalah cara hidup, cara berpikir, berideologi dan bertindak untuk membentuk insane kamil dan masyarakat yang ideal.
4.    Perbedaan dan Ruang Pembahasan Filsafat, Ilmu dan Agama
a)    Perbedaan Filsafat dan Ilmu
Perbedaan ini terletak pada cakupan objek yang dibahas, ilmu mempunyai cakupan objek yang relative sempit atau hanya berobjek pada hal yang bersifat empiris saja, sedangkan filsafat mencakup keseluruhan yang empiris maupun non empiris (bersifat luas).
b)    Perbedaan Filsafat dengan Agama
Agama diibaratkan rasa cinta yang dirasakan seseorang, sedangkan filsafat adalah pemikiran rasa cinta pada hal-hal yang dicintainya.
c)    Perbedaan Ilmu dengan Agama
Agama akan memberikan ketenangan dari segi batin, karena ada janji kehidupan setelah mati, sementara ilmu memberikan kemudahan ketenangan dan sekaligus kemudaan bagi kehidupan yang akan dijalani (dimasa depan) manusia di dunia.
B.   Saran
Dengan ucapan syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberi kesempatan dan kemudahan penulis dalam menyelesaikan makalah ini, walaupun jauh dari yang diharapkan dan guna memenuhi tugas mata kuliah Filsafat di Institut Agama Islam Sunan Giri (INSURI) Ponorogo Tahun 2011.
Tidak lupa penulis ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu menyelesaikan makalah ini.
Sebagai hamba Allah yang lemah ini menyadari dengan sepenuh hati bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan yang diinginkan, maka penulis berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua khususnya penulis.

DAFTAR PUSTAKA
Bachtiar, M.A, Prof. Dr. Amtsal. 2007. Filsafat Ilmu. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
Hanafi, M.A, Ahmad. 1996. Pengantar Filsafat Islam. Jakarta : Bulan Bintang.
Rasjidi, Prof. Dr. H. M. 1994. Filsafat Agama. Jakarta : Bulan Bintang.
Surajiyo, Drs. 2008. Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia. Jakarta : Bumi Aksara.
Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat Universitas Gajad Mada. 2003. Filsafat Ilmu. Yogyakarta : Liberty Yogyakarta.

Sejarah Peradaban Islam (INSURI)


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Sejarah pendidikan Islam erat kaitannya dengan sejarah Islam, karena proses pendidikan Islam sejatinya telah berlangsung sepanjang sejarah Islam, dan berkembang sejalan dengan perkembangan sosial budaya umat Islam itu sendiri. Melalui sejarah Islam pula, umat Islam bisa meneladani model-model pendidikan Islam di masa lalu, sejak periode Nabi Muhammad SAW, sahabat dan ulama-ulama sesudahnya. Para ahli sejarah menyebut bahwa sebelum muncul sekolah dan universitas, sebagai lembaga pendidikan formal, dalam dunia Islam sesungguhnya sudah berkembang lembaga-lembaga pendidikan Islam non formal, diantaranya adalah masjid.
Masjid pada masa Nabi bukan hanya sebagai tempat ibadah, tapi juga sebagai tempat menyiarkan ilmu pengetahuan pada anak-anak dan orang-orang dewasa, disamping sebagai tempat peradilan, tempat berkumpulnya tentara dan tempat menerima duta-duta asing. Bahkan di masa Dinasti Umayyah dan Dinasti Abbasiyah, masjid yang didirikan oleh penguasa umumnya dilengkapi dengan berbagai macam fasilitas pendidikan seperti tempat belajar, ruang perpustakaan dan buku-buku dari berbagai macam disiplin keilmuan yang berkembang pada saat itu. Sebelum al-Azhar didirikan di Kairo, sesungguhnya sudah banyak masjid yang dipakai sebagai tempat belajar, tentunya dengan kebijakan-kebijakan penguasa pada saat itu.
Islam mengalami kemajuan dalam bidang pendidikan, terutama pada masa Dinasti Abbasiyah. Pada saat itu, mayoritas umat muslim sudah bisa membaca dan menulis dan dapat memahami isi dan kandungan al-Quran dengan baik. Pada masa ini murid-murid di tingkat dasar mempelajari pokok-pokok umum yang ringkas, jelas dan mudah dipahami tentang beberapa masalah. Pendidikan di tingkat dasar ini diselenggarakan di masjid, dimana al-Quran merupakan buku teks wajib. Pada tingkat pendidikan menengah diberikan penjelasan-penjelasan yang lebih mendalam dan rinci terhadap materi yang sudah diajarkan pada tingkat pendidikan dasar. Selanjutnya pada tingkat universitas sudah diberikan spesialisasi, pendalaman dan analisa.
Berangkat dari latar belakang di atas kami akan mencoba untuk mengupas tentang suatu pembahasan dalam sebuah makalah yang berjudul “SEJARAH PENDIDIKAN ISLAM PADA MASA ABBASIYAH”.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana Sejarah Bani Abbasiyah?
2.      Bagaimana Perkembangan Pendidikan Pada Masa Bani Abbasiyah?
3.      Apa Tujuan Pendidikan Pada Masa Bani Abbasiyah?
4.      Bagaimana Tingkatan Pendidikan di Masa Abbasiyah?
5.      Bagaimana Kurikulum Pendidikan Pada Masa Abbasiyah?




BAB II
PEMBAHASAN
A.    Sejarah Bani Abbasiyah
Kekuasaan dinasti Bani Abbas atau lebih dikenal dengan khilafah Abbasiyah, sebagaimana yang disebutkan, melanjutkan kekuasaan dinasti Bani Umayyah. Dinamakan khilafah Abbasiyah karena para pendiri dan penguasa dinasti ini adalah keturunan Al-Abbas Paman Nabi Muhammad saw. Dinasti ini didirikan oleh Abdullah Al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn Al-Abass. Kekuasaannya berlangsung cukup panjang, dari tahun 132 H (750 M) sampai dengan 656 H (1258 M). Selama dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, social, dan budaya. Berdasarkan perubahan pola pemerintahan dan politik itu, para sejarawan biasanya membagi masa pemerintahan Bani Abbas menjadi lima periode, yakni :
1.      Periode pertama (132 H/750 M – 232 H/847 M), disebut dengan periode pengaruh Persia pertama.
2.      Periode kedua (232 H/847 M – 334 H/945 M), disebut masa pengaruh Turki utama.
3.      Periode ketiga (334 H/945 M – 447 H/1055 M), masa kekuasaan dinasti Buwaih dalam pemerintahan khalifah Abbasiyah, biasanya disebut juga dengan masa pengaruh Persia kedua.
4.      Peiode keempat (447 H/945 M – 590 H/1194 M), masa kekuasaan dinasti Bani Seljuk dalam pemerintahan khalifah Abbasiayah, biasa disebut dengan masa pengarug Turki kedua.
5.      Periode kelima (590 H/1194 M – 656 H/1258 M), masa khalifah bebas dari pengaruh dinasti lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif di sekitar kota Baghdad.[1]
Dinasti Abbasiyah pada periode pertama lebih menekankan pada pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam daripada perluasan wilayah. Inilah perbedaan pokok antara Bani Abbaisyah dengan Bani Umayyah. Disamping itu ada cirri-ciri menonjol pada dinasti Abbasiyah yang tak terdapatkan pada zaman Bani Umayyah. 1) Dengan berpindahnya ibu kota ke Baghdad, pemerintahan Bani Abbas menjadi lebih jauh dari pengaruh Arab. Sedangkan dinasti Bani Umayyah sengat berorientasi kepada Arab. Dalam periode pertama dan ketiga, pemerintahan Bani Abbas yang mempunyai pengaruh kebudayaan Persia yang sangat kuat dan pada periode kedua dan keempat, bangsa Turki sangat dominan dengan politik dan pemerintahan dinasti Abbasiyah ini. 2). Dalam penyelenggaraan Negara, Bani Abbas ada Jabatan Wazir, yang membawahi kepala-kepala departemen. Jabatan ini tidak ada pada pemerintahan Bani Umayyah. 3) Ketentaraan professional baru terbentuk pada masa pemerintahan Bani Abbas. Sebelumnya, tidak ada tentara khusus yang professional.
B.     Perkembangan Ilmu Pengetahuan di Masa Abbasiyah
Pada masa abbsiyah ini terdapat perkembangan ilmu pengetahuan, antara lain sebagai berikut:
1.      Menerjemahkan buku-buku dari bahasa asing (Yunani,Syiria Ibrani, Persia, India, Mesir, dan lain-lain) ke dalam bahasa Arab. Buku-buku yang diterjemahkan meliputi ilmu kedokteran, mantiq (logika), filsafat, aljabar, pesawat, ilmu ukur, ilmu alam, ilmu kimia, ilmu hewan, dan ilmu falak.
2.      Pengetahuan keagamaan seperti fikih, usul fikih, hadis, mustalah hadis, tafsir, dan ilmu bahasa semakin berkembang karena di zaman Bani Umayyah usaha ini telah dirintis. Pada masa ini muncul ulama-ulama terkenal seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’I, Imam Hambali, Imam Bukhari, Imam Muslim, Hasan Al Basri, Abu Bakar Ar Razy, dan lain-lain.[2]
3.      Sejak upaya penerjemahan meluas, kaum muslim dapat mempelajari ilmu-ilmu ilmu-ilmu itu langsung dalam bahasa arab sehingga muncul sarjana-sarjana muslim yang turut memperluas peyelidikan ilmiah, memperbaiki atas kekeliruaan pemahaman kesalahan pada masa lampau, dan menciptakan pendapat-pendapat atau ide baru. Tokoh-tokohnya antara lain sebagai berikut :
a.       Ilmuwan untuk mengungkap rahasia alam, yang dimulai dengan mencari manuskrip-manuskrip klasik peninggalan ilmuwan Yunani Kuno, seperti karya Aristoteles, Plato, Socrates, dan sebagainya. Manuskrip-manuskrip tersebut kemudian dibawa ke Baghdad, lalu diterjemahkan dan dipelajari di perpustakaan yang merangkap sebagai lembaga penelitian, Baitul Hikmah, sehingga melahirkan pemikiran-pemikiran baru.
b.      Dalam bidang filsafat antara lain tercatat Al-Kindi, Al- Farabi, Ibnu Sina (Avicenna) dan Ibnu Rusydi (Averroes). Di bidang sains ada Al-Farghani, Al-Biruni, Al-Khawarizmi, Umar Khayyam dan Al-Thusi. Di bidang kedokteran tercatat nama Al-Thabari, Ar-Razi (Rhazes), Ibnu Sina dan Ibnu Rusydi (Averroes). Di bidang ilmu kimia terkenal nama Ibnu Hayyan. Di bidang optika ada Ibnu Haytsam. Di bidang geografi ada Al-Khawarizmi, Al-Ya’qubi, dan Al-Mus’udi. Dalam bidang ilmu kedokteran hewan ada Al-Jahiz, Ibnu Maskawaihi, dan Ikhwanussafa, Ibnu Sina dan seterusnya yang tidak muat lembaran ini jika diurut satu persatu.
c.       Dalam bidang ilmu fiqih terkenal nama Abu Hanifah, Malik bin Anas, Al-Syafi’ie, dan Ahmad bin Hanbal. Dalam ilmu kalam ada Washil bin Atha, Ibnu Huzail, Al-Asy’ari, dan Maturidi. Dalam ilmu Tafsir ada Al-Thabari dan Zamakhsyari. Dalam ilmu hadits, yang paling populer adalah Bukhari dan Muslim. Dalam ilmu tasawuf terdapat Rabi’ah Al- Adawiyah, Ibnu ‘Arabi, Al-Hallaj, Hasan al-Bashri, dan Abu Yazid Al-Bustami.[3]
d.      Sejak Akhir abad ke-10, muncul sejumlah tokoh wanita dibidang ketatanegaraan dan politik seperti Khaizura, Ulayyah, Zubaidah, dan Bahrun. Di bidang kesusastraan dikenal Zubaidah dan Fasl. Di bidang Sejarah, muncul Shalikhah Shuhda. Di bidang kehakiman, muncul Zainab Umm Al Muwayid. D I bidang seni musik, Ullayyah dikenal dan sangat tersohor pada waktu itu.
e.       Pada masa bani Abbasiyah, juga terjadi kemajuaan di bidang perdagangan dan melalui ketiga kota ini dilakukan usaha ekspor impor. Hasil idustri yang diekspor ialah permadani, sutra, hiasan, kain katun, satin, wool, sofa, perabot dapu atau rumah tangga, dan lain-lain.
f.       Bidang pendidikan mendapat perhatian yang sangat besar. Sekitar 30.000 masjid di Bagdad berfungsi sebagai lembaga pendidikan dan pengajaran pada tingkat dasar. Perkembangaan pendidikan pada masa bani abbasiyah dibagi 2 tahap. Tahap pertama (awal abad ke-7 M sampai dengan ke-10 M ) perkembangan secara alamiah disebut juga sebagai system pendidikan khas Arabia. Tahap kedua (abad ke 11) kegiatan pendidikan dan pengajaran diatur oleh pemerintah dan pada masa ini sudah dipengaruhi unsur non-Arab.[4]

C.    Tujuan pendidikan pada masa Abbasiyah
Pada masa Nabi masa khulafaur rasyidin dan umayah, tujuan pendidikan satu saja, yaitu keagamaan semata. Mengajar dan belajar karena Allah dan mengharap keridhoan-Nya. Namun pada masa abbasiyah tujuan pendidikan itu telah bermacam-macam karena pengaruh masyarakat pada masa itu. Tujuan itu dapat disimpulkan sebagai berikut:
a.      Tujuan keagamaan dan akhlak
Sebagaiman pada masa sebelumnya, anak-anak dididik dan diajar membaca atau menghafal Al-Qur’an, ini merupakan suatu kewajiban dalam agama, supaya mereka mengikut ajaran agama dan berakhlak menurut agama.
b.      Tujuan kemasyarakatan
Para pemuda pada masa itu belajar dan menuntut ilmu supaya mereka dapat mengubah dan memperbaiki masyarakat, dari masyarakat yang penuh dengan kejahilan menjadi masyarakat yang bersinar ilmu pengetahuan, dari masyarakat yang mundur menuju masyarakat yang maju dan makmur. Untuk mencapai tujuan tersebut maka ilmu-ilmu yang diajarkan di Madrasah bukan saja ilmu agama dan Bahasa Arab, bahkan juga diajarkan ilmu duniawi yang berfaedah untuk kemajuan masyarakat.
c.       Cinta akan ilmu pengetahuan
Masyarakat pada saat itu belajar tidak mengaharapkan apa-apa selain dari pada memperdalam ilmu pengetahuan. Mereka merantau ke seluruh negeri islam untuk menuntut ilmu tanpa memperdulikan susah payah dalam perjalanan yang umumnya dilakukan dengan berjalan kaki atau mengendarai keledai. Tujuan mereka tidak lain untuk memuaskan jiwanya untuk menuntut ilmu.
d.      Tujuan kebendaan
Pada masa itu mereka menuntut ilmu supaya mendapatkan penghidupan yang layak  dan pangkat yang tinggi, bahkan kalau memungkinkan mendapat kemegahan dan kekuasaan di dunia ini, sebagaimana tujuan sebagian orang pada masa sekarang ini.[5]
D.    Tingkat-tingkat Pengajaran
Pada masa Abbasiyah sekolah-sekolah terdiri dari beberapa tingkat, yaitu:
1.      Tingkat sekolah rendah, namanya Kuttab sebagai tempat belajar bagi anak-anak. Di samping Kuttab ada pula anak-anak belajar di rumah, di istana, di took-toko dan di pinggir-pinggir pasar. Adapun pelajaran yang diajarkan meliputi: membaca Al-Qur’an dan menghafalnya, pokok-pokok ajaran islam, menulis, kisah orang-orang besar islam, membaca dan menghafal syair-syair atau prosa, berhitung, dam juga pokok-pokok nahwu shorof ala kadarnya.[6]
2.      Tingkat sekolah menengah, yaitu di masjid dan majelis sastra dan ilmu pengetahuan sebagai sambungan pelajaran di kuttab. Adapun pelajaran yang diajarkan melipuri: Al-Qur’an, bahasa Arab, Fiqih, Tafsir, Hadits, Nahwu, Shorof, Balaghoh, ilmu pasti, Mantiq, Falak, Sejarah, ilmu alam, kedokteran, dan juga music.
3.      Tingkat perguruan tinggi, seperti Baitul Hikmah di Bagdad dan Darul Ilmu di Mesir (Kairo), di masjid dan lain-lain. Pada tingkatan ini umumnya perguruan tinggi terdiri dari dua jurusan:
a.       Jurusan ilmu-ilmu agama dan Bahasa Arab serta kesastraannya. Ibnu Khaldun menamainya ilmu itu dengan Ilmu Naqliyah. Ilmu yang diajarkan pada jurusan ini meliputi: Tafsir Al-Qur’an, Hadits, Fiqih, Nahwu, Sharaf, Balaghoh, dan juga Bahasa Arab.
b.      Jurusan ilmu-ilmu hikmah (filsafat), Ibnu Khaldun menamainya dengan Ilmu Aqliyah. Ilmu yang diajarkan pada jurusan ini meliputi: Mantiq, ilmu alam dan kimia, Musik, ilmu-ilmu pasti, ilmu ukur, Falak, Ilahiyah (ketuhanan), ilmu hewan, dan juga kedokteran.[7]
E.     Kurikulum Pendidikan Pada Masa Abbasiyah
Kurikulum yang dikembangkan dalam pendidikan Islam saat itu, yaitu : pertama, kurikulum pendidikan tingkat dasar yang terdiri dari pelajaran membaca, menulis, tata bahasa, hadist, prinsip-prinsip dasar Matematika dan pelajaran syair. Ada juga yang menambahnya dengan mata pelajaran nahwu dan cerita-cerita. Ada juga kurikulum yang dikembangkan sebatas menghapal Al-Quran dan mengkaji dasar-dasar pokok agama.
Berikut sebuah riwayat yang bisa memberikan gambaran tentang kurikulum pendidikan pada tingkat dasar pada saat itu. Al Mufadhal bin Yazid menceritakan bahwa pada suatu hari ia berjumpa seorang anak-anak laki dari seorang baduwi. Karena merasa tertarik dengan anak itu, kemudian ia bertanya pada ibunya. Ibunya berkata kepada Yazid: “…apabila ia sudah berusia lima tahun saya akan menyerahkannya kepada seorang muaddib (guru), yang akan mengajarkannya menghapal dan membaca Al-Quran lalu dia akan mengajarkannya syair. Dan apabila dia sudah dewasa, saya akan menyuruh orang mengajarinya naik kuda dan memanggul senjata kemudian dia akan mondar-mandir di lorong-lorong kampungnya untuk mendengarkan suara orang-orang yang minta pertolongan…”.
Kedua, kurikulum pendidikan tinggi. Pada pendidikan tinggi, kurikulum sejalan dengan fase dimana dunia Islam mempersiapkan diri untuk memperdalam masalah agama, menyiarkan dan mempertahankannya. Akan tetapi bukan berarti pada saat itu, yang diajarkan melulu agama, karena ilmu yang erat kaitannya dengan agama seperti bahasa, sejarah, tafsir dan hadis juga diajarkan.[8]







BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
1.    Sejarah Bani Abbasiyah
Kekuasaan dinasti Bani Abbas atau lebih dikenal dengan khilafah Abbasiyah, sebagaimana yang disebutkan, melanjutkan kekuasaan dinasti Bani Umayyah. Dinamakan khilafah Abbasiyah karena para pendiri dan penguasa dinasti ini adalah keturunan Al-Abbas Paman Nabi Muhammad saw. Dinasti ini didirikan oleh Abdullah Al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn Al-Abass. Kekuasaannya berlangsung cukup panjang, dari tahun 132 H (750 M) sampai dengan 656 H (1258 M). Selama dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, social, dan budaya. Berdasarkan perubahan pola pemerintahan dan politik itu, para sejarawan biasanya membagi masa pemerintahan Bani Abbas menjadi lima periode.
2.      Perkembangan Ilmu Pengetahuan
Pada masa ini lebih berkembang pesat dan mencapai bentuknya yang sempurna dari ilmu-ilmu baik ilmu agama maupun ilmu umum, yakni : ilmu agama, ilmu fisika, ilmu-ilmu medis, ilmu-ilmu oseanografi, ilmu-ilmu nautika, matematika, astronomi, pertanian, filsafat, sejarah seni budaya dan lain-lain.
3.      Tujuan pendidikan
Pada masa Nabi masa khulafaur rasyidin dan umayah, tujuan pendidikan satu saja, yaitu keagamaan semata. Mengajar dan belajar karena Allah dan mengharap keridhoan-Nya. Namun pada masa abbasiyah tujuan pendidikan itu telah bermacam-macam karena pengaruh masyarakat pada masa itu. Tujuan itu dapat disimpulkan sebagai berikut:
a.       Tujuan keagamaan dan akhlak
b.      Tujuan kemasyarakatan
c.       Cinta akan ilmu pengetahuan
d.      Tujuan kebendaan
4.      Tingkat-tingkat Pengajaran
Pada masa Abbasiyah sekolah-sekolah terdiri dari beberapa tingkat, yaitu:
a.      Tingkat sekolah rendah
b.      Tingkat sekolah menengah
c.       Tingkat perguruan tinggi
5.      Kurikulum Pendidikan
Kurikulum yang dikembangkan dalam pendidikan Islam saat itu, yaitu : pertama, kurikulum pendidikan tingkat dasar yang terdiri dari pelajaran membaca, menulis, tata bahasa, hadist, prinsip-prinsip dasar Matematika dan pelajaran syair. Ada juga yang menambahnya dengan mata pelajaran nahwu dan cerita-cerita. Ada juga kurikulum yang dikembangkan sebatas menghapal Al-Quran dan mengkaji dasar-dasar pokok agama.
Kedua, kurikulum pendidikan tinggi. Pada pendidikan tinggi, kurikulum sejalan dengan fase dimana dunia Islam mempersiapkan diri untuk memperdalam masalah agama, menyiarkan dan mempertahankannya. Akan tetapi bukan berarti pada saat itu, yang diajarkan melulu agama, karena ilmu yang erat kaitannya dengan agama seperti bahasa, sejarah, tafsir dan hadis juga diajarkan.
B.     Saran
Demikianlah sedikit uraian tentang Sejarah Pendidikan Islam  pada masa Abbasiyah. Tentunya tulisan ini masih sangat jauh untuk mengungkap secara detail dan sempurna tentang Sejarah Pendidikan Islam pada masa Abbasiyah. Untuk itu penulis yakin makalah ini masih membutuhkan banyak koreksi dan masukan. Sebagai penutup penulis berharap makalah ini dapat memberikan manfaat kepada pembaca pada umunya dan bagi penulis secara khusus.










DAFTAR PUSTAKA
Basri, Hasan, M. Nur. 2001. Peran Islam dalam Kemajuan Eropa. Serambi Indonesia.
Sunanto, Musyrifah. 2004. Sejarah Islam Klasik Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam. Jakarta: Prenada Media.
Yatim, Badri. 2000. Sejarah Peradaban Islam: Dirasah Islamiyah II. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Yunus, Mamud. 1990. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: PT. Hidakarya Agung.
Zuhairini, Moh. Kasiran. dkk. 1985. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: DEPAG.


[1]  Badri Yatim. 2000. Sejarah Peradaban Islam: Dirasah Islamiyah II. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Hlm. 50
[2] Zuhairini, Moh. Kasiran. dkk. 1985. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: DEPAG. Hlm. 88
[3] Hasan Basri, M.Nur, Peran Islam dalam Kemajuan Eropa, Serambi Indonesia, edisi 19 Maret 2001.
[4] Zuhairini, Moh. Kasiran. dkk. 1985. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: DEPAG. Hlm. 99
[5] Mamud Yunus. 1990. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: PT. Hidakarya Agung. Hlm. 46
[6] Badri Yatim. Op.cit.. Hlm. 54
[7] Musyrifah Sunanto. 2004. Sejarah Islam Klasik Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam. Jakarta: Prenada Media. Hlm. 57.
[8] Ibid, hlm. 100.