BAB II
PEMBAHASAN
A.
Epistemologi
1. Pengertian
Epistemologi
Epistemologi
berasal dari Yunani yaitu episteme (pengetahuan, ilmu pengetahuan) dan logos
(pengetahuan, informasi) dan disebut juga teori pengetahuan. Teori pengetahuan
merupakan teori untuk mencapai teori kebenaran.
Pengetahuan
adalah proses kehidupan yang diketahui manusia secara langsung dari
kesadarannya sendiri. Perlu ditegaskan bahwa pengetahuan tidak sama dengan
pengertian.
2. Unsur
Pengetahuan
Unsur
pengetahuan yaitu pengamatan (mencamkan) sasaran (objek) dan kesadaran (jiwa). Ketiga unsur ini
merupakan kesatuan yang saling mengikat.
Pengamatan
adalah penggunaan indra lahir atau batin untuk menangkap objek. Pengamatan
merupakan salah satu bentuk pengalaman. Dalam pengamatan subyek berada di luar
sesuatu sedangkan dalam dalam pengalaman subyek justru berada di dalamnya.
Dalam arti luas teori pengetahuan mencakup penelitian mengenai keshahihan pengetahuan.
Dalam arti sempit teori pengetahuan sama dengan study kritis mengenai
pengetahuan.
3. Tumpuan
Pengetahuan
Ada dua sumber
pengetahuan yaitu pengalaman (empiris) dan pemikiran (ratio). Terlepas dari
keduanya, muncul satu sumber yaitu Intusionisme atau Irasionalisme
dengan tokoh Henry Bergson, menurutnya insting dan intuisi
merupakan sumber pengetahuan yang sebenarnya yang dibawa oleh manusia sejak
lahir.[1]
Ada aliran lain yang memadukan kedua sumber (empiris dan ratio)
sebagai tumpuan pengetahuan yaitu kritisisme. Lain dengan Fenomenologi
aliran menentang kedua sumber itu dan menyatakan sebagai tumpuan pengetahuan.
Jika dikaitkan
dengan unsur pengetahuan yang meliputi pengamatan, sasaran dan kesadaran, maka
sebagai tumpuan pengetahuan empirisme menunjukkan pengamatan rasionalisme
mengarah pada kesadaran, kritisisme memadukan pengamatan dan kesadaran.
Sedang intuisionisme
terlepas dari ikatan di atas, sebab sasarannya ada di luar akal.
Aliran intuisionisme
atau irasionalisme berkeyakinan bahwa sekedar berfikir saja tidak
cukup untuk mencari kebenaran, sebab logika hanya bisa menerangkan, mengurai
dan mengatur. Menurut aliran intuisisme, insting merupakan sumber
pengetahuan.
4. Macam
Pengetahuan
Pengetahuan
adalah mengakui sesuatu terhadap sesuatu. Mengetahui berarti menerima secara
akali. Dipandang dari cara
pembentukannya, pengetahuan ada dua macam yaitu pengetahuan langsung dan
pengetahuan tidak langsung. Pengetahuan langsung diperoleh melalui pengamatan
lahir (persepsi ekstern) sedangkan pengamatan batin (persepsi intern) tanpa
perantara.
Contoh : Heru duduk menyendiri
(persepsi ekstern),
Dia merenungi nasibnya (persepsi intern).
Pengetahuan
tidak langsung didapat melalui perantara yaitu konklusi (penyimpulan yang
tepat) dan autoriti (pemberitahuan yang berkesan) pemberutahuan utusan/ajaran agama yang
diyakini.
Contoh : Panjang x Lebar = Tinggi
(Konklusi)
Tuhan itu Esa dan Kekal (Autoriti)
Miska Muhammad
Amien menjelaskan adanya dua macam pengetahuan yaitu pengetahuan wahyu dan
pengetahuan ilham.[2]
a. Wahyu
adalah Firman Allah yang berisi pengetahuan yang diturunkan kepada manusia
pilihan yaitu Nabi/Rasul. Wahyu mencakup berbagai aspek kehidupan khususnya
hubungan manusia dengan Al-Khalik yang disebut “ibadah”, juga hubungan dengan
manusia dengan sesama makhluk disebut muamalah.
b. Pengetahuan
Ilham adalah petunjuk yang disampaikan melalui hati sanubari setiap orang.
Ilham juga sebagai devine inspiration.
Dengan adanya
berbagai jenis pengetahuan di atas, timbu pertanyaan “bagaimana manusia bisa
tahu?”, “bagaimana orang bisa berpindah dari pengetahuan konkrit menuju
pegetahuan absrak?”.
Dalam menangkap
objek konkrit, tidak semua indra digunakan melainkan hanya indra tertentu. Oleh
karena itu, pengetahuan yang diperoleh tertentu pula. Sebagai contoh “Awan hanya
bisa dilihat, suara hanya bisa didengar”.
Indra yang
menangkap rangsangan (objek) di luar akan meninggalkan kesan pada manusia yang
berupa ciri atau sifat objek. Kesan ini disebut tanggapan.
Bagaimana tahap
pengetahuan orang akan sesuatu, Ahmad Hanafi, M.A mengemukakan beberapa fase
pengenalan.[3]
a) Mengamati
hal indrawi secara berurutan; bentuk-warna, ukuran-letak. Misalnya : Bola bulat
putih yang besar di keranjang.
b) Mengenal
ciri pokok (esensial) sekalipun sifat indrawi (aksidental)nya berubah-ubah.
Contoh : Kursi makan ciri esensialnya adalah kaki, sandaran sedangkan ciri
aksidentalnya adalah model, bahan dan ukuran.
c) Mengaitkan
sesuatu dengan sesuatu yang lain berdasarkan pertalian kegiatan untuk dijadikan
pengalaman, misalnya : hubungan awan tebal dan turun hujan, antara minum obat
dan sehat kembali.
d) Mengungkap
rahasia hubungan sebab akibat. Misalnya : awan tebal mengakibatkan hujan turun
karena awan tebal mengandung uap air.
Secara singkat
orang mengenal sesuatu secara bertahap yaitu wujud lahiriyah. Ciri pokoknya,
hubungannya dengan hal lain, ikatan kausalitasnya, penyebab utamanya, proses
pendalamannya, dan penerapantindak lanjut.
5. Batas
Pengetahuan
Berbicara
menganai dasar pengetahuan akan berkaitan pula dengan pembahasan mengenai
batasannya. Sebab akan muncul pertanyaan sejauh mana pengetahuan yang diperoleh
baik melalui empiri, rasio maupun intuisi bisa dipercaya kebenarannya. Orang
akan mencari jawabannnya dan jawaban yang dikemukakan pasti berlainan. Ada dua
teori yang mengemukakan wilayah pengetahuan yaitu skeptisisme dan objektivisme.
Skeptisisme
berpandangan bahwa wilayah pengetahuan hanyalah apa yang sekarang ada dalam
jiwa sebagai rekaan. Skeptis artinya ragu. Pikiran ini banyak muncul dalam
kehidupan menyangkal masa lalu saya sekarang bukan saya yang dulu. Demikian
juga upaya menghapus noda hitam masa lampau yang melekat dalam hidup atau
memandang masa depan penuh kabut, serta rasa bimbang dan takut. Kendati
demikian terdapat sisi positifnya.
1) Skeptisisme
dalam pengertian umum adalah aliran yang meragukan segala hal. Ia akan
mengadakan pemekrisaan dan penelitian ulang dalam meraih kepastian.
2) Skeptisisme
dalam arti khusus adalah aliran yang mengakui adanya batas pengetahuan,
pendapat semacam ini dapat menjadikan
manusia bergairah untuk hidup. Ia tidak akan terpaku pada status yang tetap,
sebab ada peluang untuk berharap.
B.
Ontologi
Ontologi
: Inggris Outology, Yunani ontos (ada, keberadaan) logos
(study, ilmu tentang). Ontologi secara terminologi adalah pengaduan
penyeledikan terhadap sifat realitas.
Pandangan
beberapa filsuf :
Ontologi
berarti
“pengetahuan tentang yang ada”. Istilah ini muncul pada abad ke-17
diperkenalkan oleh Goelenius tahun 1636, digunakan oleh Clauberg tahun
1647, dan Du Hamel tahun 1663.
1) Clauberg
menyebut Ontologi ilmu pertama study tentang yang ada, study ini dianggap berlaku untuk semua, termasuk Allah dan
semua ciptaan dan mendasari baik teologi maupun fisika. Dan juga
menyebut disiplin ini Outosophia yang mempunyai arti
yang sama dengan Ontologi.
2) Bagi
Gioberti Ontologi adalah disiplin filsafat dasariyah.
3) Rosmeni
Serbati mengontraskan Ontologi dengan Teologi dan Kosmologi,
Ontologi adalah doktrin universal tentang yang ada. Teologi
adalah doktrin tentang yang ada absolut. Kosmologi doktrin tentang yang
ada relatif dan terbatas.
4) Baumgarten
mendefinisikan Ontologi sebagai study tentang “predikat-predikat yang
paling umum” beliau menggunakan istilah Ontoshopia sebagai sinonim Ontologi.
Teori-teori
tentang sifat realistis tertinggi.
Apa
itu realitas sesungguhnya? Seorang filsuf Yunani Thales (pada abad ke-6 SM)
mengatakan bahwa dunia berasal dari air. Anaximenes berpendapat bahwa dunia
berasal dari udara. Jawaban terhadap permasalahan ini melahirkan berbagai
asumsi ada yang mengatakan bahwa realita itu tidak berubah. Jawaban lain mengatakan
bahwa realitas adalah sesuatu yang tidak dapat diketahui. Ada juga yang
melihatnya dari segi lain misalnya, dimotivasi oleh keyakinan keagamaan atau
kepentingan ilmiah semata terhadap masalah tersebut.[4]
Teori-teorinya
antara lain :
a) Monisme,
Pluralisme, Dualisme
Pendapat yang
menyatakan bahwa realitas secara mendasar adalah satu dari segi proses.
Struktur dan landasan disebut monisme.
Filsafat
Parmenides (abad ke-6 SM)
Parmenides
mengajarkan bahwasanya sesuatu adalah wujud. Wujud mengisi semua ruang dan
pemikiran. Perubahan/pluralitas hanyalah satu, perubahan hanyalah ilusi belaka.
Monisme modern digambarkan dalam filsafat Hegel (1770-1813) yang mengambarkan
dunia sebagai bentangan dari semua spirit absolut yang menyatakan dirinya dalam
waktu.
Seorang filsuf
modern awal, Descrates (1506-1650) menggambarkan dunia yang diciptakan sebagai
dualitas yang mengembang, menempati ruang dan tidak mengembang yang muncul
dalam pikiran manusia.
Bergson (1941)
membedakan dualisme antara yang diciptakan dan yang menciptakan pemikiran
dualismenya.
Plato (427-27
SM) membedakan keabadian, ketidak berubahan dan dunia yang berubah terdapat
dalam fenomena pengalaman. Plato dimasukkan sebagai penganut monisme dualisme.
Plato juga dikatakan sebagai penganut pluralisme dengan alasan bahwa terdapat
jumlah ide nyata secara independen yang muncul dalam realitas. Dengan kata
lain, monisme dualisme pluralisme pada dasarnya hanyalah cara untuk
mengidentifikasi pendapat-pendapat tentang realitas dimana teori-teori tersebut
memiliki perbedaan-perbedaan satu sama lain.[5]
b) Mistisme,
Materialisme dan Supernaturalisme
Mistisme
berusaha mengidentifikasi suatu subjek dengan dunianya. Tujuannya terletak pada
pengalaman kesatuan, lebih lanjut seorang materialisme secara praktis melihat
materi atau energi sebagai realitas puncak. Seorang supernaturalisme berbicara
tentang Tuhan, sebagai yang hidup dan bergerak serta memiliki wujud kita. Tuhan
yang benar-benar memiliki kemampuan pencipta, menolong, mengampuni dan
bereksistensi sempurna.[6]
c) Marxisme
dan Filsafat Revolusioner
Layaknya
pragmatisme, marxisme menolak terhadap pendekatan intelektualisme terhadap
realitas atau dunia. Walaupun manusia merupakan produk dari lingkungannya,
manusia dapat menaruh dalam kendalinya.
Marxisme dan
revolusi sepakat menolak institusi sosial dan ekonomi baru-baru ini. Hal ini
ditandai dengan label-label seperti “kapitalisme atau kemapanan” ketika sosial
dan sifat manusia termasuk dunianya merupakan hasil dari kemapanan.
C.
Axiologi
Yunani
Axios = layak, pantas, nilai. Secara istilahkualitas suatu hal yang
menjadikan hal itu dapat disukai, diinginkan, berguna atau dapat menjadi objek,
kepentingan.
Teori-teori
tentang nilai
Teori
umum tentang ini bermula dari perdebatan antara Alexius Meinong dengan Cristian
Von Ehrenfels pada tahun 1890 berkaitan dengan sumber nilai adalah perasaan
atau kemungkinan adanya kesenangan terhadap suatu objek. Ehrenfels berpendapat
bahwa sumber nilai adalah hasrat/keinginan (disire). Menurut kedua pendapat
tersebut nilai adalah milik objek itu sendiri.[7]
Macam-macam
nilai
1. Nilai
Instrumental
Nilai instrumental mempunyai
beberapa pengertian;
-
Nilai yang
dimiliki suatu hal dalam menghasilkan akibat-akibat atau hasil-hasil yang
diinginkan.
-
Suatu nilai yang
digunakan sebagai alat untuk memperoleh suatu yang diinginkan.
2. Nilai
Utilitarian
Pengertiannya sebagai berikut;
-
Nilai yang
dipunyai oleh suatu hal yang berguna bagi pemenuhan sebuah tujuan.
-
Nilai yang
dimiliki suatu hal dalam memajukan kebaikan terbesar dari jumlah besar.
Filsafat
Etika
Nilai
menghendaki meghargai sejumlah aspek pengalaman manusia. Nilai etika lebih
diprioritaskan dibandingkan dengan nilai-nilai yang lain. Apapun tindakannya
yang dilakukan, nilai moral harus mengikutinya melebihi nilai lainnya. Misalnya
suatu statemen mengatakan bahwa nilai estetika merupakan nilai moral yang
tertinggi. Karena begitu pentingnya, nilai moral mendapat perhatian yang cukup
besar.
Teori
Etika Deontologis
Etika
deontologis menekankan sifat pembuktian diri dari yang benar sebagai sesuatu
yang lahir dari penalaran intuisi dan moral. Seorang deontologis akan
mengatakan bahwa suatu tindakan adalah wajar dan dapat menjadi benar walaupun
hal ini tidak terjadi dan mendapat akibat yang baik. Seperti dia berbuat atas
dasar kewajiban dengan niat baik hal ini tetap saja akan menghasilkan suatu
akibat buruk yakni menyebabkan perantara atau orang lain menjadi tidak senang.
Etika
Egoisme
Seseorang
harus melakukan kepentingan sendiri dan mengabaikan kepentingan orang lain.
Kepentingan
seseorang yang seharusnya ia lakukan dapat berbentuk :
-
Memaksimalkan
kesenangan atau kebahagiaan diri sendiri.
-
Memaksimalkan
kesenangan atau kebahagiaan secara umum.
Pengamat
etika egoisme lainnya adalah Protagiras dan Aristoteles (setiap orang adalah
sahabatnya yang terbaik.[8]
Masalah
Kebaikan
Inggris
good, Yunani Agothon. Mempunyai pengertian “apa yang dapat
menyempurnakan sesuatu. Dan karena itu ia pantas untuk diperjuangkan.
Macam-macam
kebaikan :
a. Kebaikan
ekstrinsik : suatu nilai yang diinginkan demi kepentingan sesuatu yang lainnya.
b. Kebaikan
intrinsik : nilai bagi dirinya sendiri.
c. Kebaikan
instrumental : suatu nilai sebagai sarana untuk menciptakan kebaikan lainnya.
Pandangan
beberapa filsafat tentang nilai/kebaikan;
1) Bagi
Plato kebaikan tertinggi dimengerti sebagai prinsip yang mempengaruhi dunia.
2) Bagi
Hegel kebaikan merupakan kehendak manusia dengan rasional.
3) Bagi
Westermarek kebaikan timbul dari sikap
penghargaan dalam masyarakat dan kebenaran.
BAB III
KESIMPULAN
Pengkajian terhadap suatu bidang
pengetahuan harus dibangun dari fondasi filsafat yang kuat, jelas, terarah,
sistematis, berdasarkan norma-norma keilmuan dan dapat dipertanggungjawabkan.
Filsafat ilmu merupakan kajian yang dilakukan secara mendalam mengenai
dasar-dasar ilmu. Pendekatan yang digunakan dalam menguak landasan-landasan
atau dasar-dasar ilmu adalah melalui tiga hal. Pertama, pendekatan ontologi,
yaitu ilmu yang mengkaji tentang hakikat. Teori hakikat pertama kali
dikemukakan oleh filsuf Thales yang mengatakan bahwa hakikat segala sesuatu itu
adalah air. Kemudian dalam perkembangannya, bermuncullah paham-paham tentang
ontologi meliputi monoisme, dualisme, pluralisme, nihilisme, dan agnotisisme.
Kedua, pendekatan epistemologi, yaitu cabang filsafat yang mempelajari asal
mula atau sumber, struktur, metode dan syahnya (validitas) pengetahuan. Dalam
menemukan sumber pengetahuan itu terdapat beberapa metode yaitu induktif,
deduktif, positivisme, kontemplatif, dan dialektis. Ketiga, pendekatan
aksiologi, yaitu teori tentang nilai (etika dan estetika). Pada adasarnya ilmu
harus digunakan untuk kemaslahatan umat manusia. Ilmu dapat dimanfaatkan
sebagai sarana untuk meningkatkan taraf hidup manusia dan kesejahteraannya
dengan menitik beratkan pada kodrat dan martabat manusia itu sendiri, maka
pengetahuan ilmiah yang diperoleh disusun dan dipergunakan secara komunal dan
universal.
Ketiga pendekatan ini harus bisa
menjawab hal-hal berikut : Bagaimana hakikat dari sesuatu yang ditelaah? Bagaimana
cara-cara memahami pengetahuan, langkah-langkahnya, sumbernya dan
metodologinya? Bagaimana urgensi, nilai dan kegunaan dari sesuatu itu? Ke tiga
landasan di atas merupakan dasar pijakan yang sangat penting untuk dipahami
dalam mendalami dasar-dasar segala ilmu pengetahuan. Karena ke tiganya saling
berkaitan erat satu sama lain sebagai titik tolak dalam pencapaian kajian
hakekat kebenaran ilmu.
[1] Abu Hanifah, Rintisan
Filsafat I. (cet. II, Jakarta. 1950) hal. 84
[2] Miska Muhammad Amien.
Epistimologi Islam.(Jakarta: 1983) hal. 19
[3] Ahmad Hanafi. M.A. Pengentar
Filsafat Islam. Cet iv (Jakarta;1990) hal 5
[4] Hamilton D. Hunnex. Peta
Filsafat Pendekatan Kronologis dan Tematis. Terj. Zubair (Jakarta:Teraju, 2004)
hal 49
[5] Ibid. Hal 50-51
[6] Ibid. Hal 51
[7] Hunnex. Ibid, hal 56
[8]
Ibid hal 66