Sabtu, 07 April 2012

Epistemologi, Ontologi dan Aksiologi


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Epistemologi
1.      Pengertian Epistemologi
Epistemologi berasal dari Yunani yaitu episteme (pengetahuan, ilmu pengetahuan) dan logos (pengetahuan, informasi) dan disebut juga teori pengetahuan. Teori pengetahuan merupakan teori untuk mencapai teori kebenaran.
Pengetahuan adalah proses kehidupan yang diketahui manusia secara langsung dari kesadarannya sendiri. Perlu ditegaskan bahwa pengetahuan tidak sama dengan pengertian.
2.      Unsur Pengetahuan
Unsur pengetahuan yaitu pengamatan (mencamkan) sasaran (objek)  dan kesadaran (jiwa). Ketiga unsur ini merupakan kesatuan yang saling mengikat.
Pengamatan adalah penggunaan indra lahir atau batin untuk menangkap objek. Pengamatan merupakan salah satu bentuk pengalaman. Dalam pengamatan subyek berada di luar sesuatu sedangkan dalam dalam pengalaman subyek justru berada di dalamnya. Dalam arti luas teori pengetahuan mencakup penelitian mengenai keshahihan pengetahuan. Dalam arti sempit teori pengetahuan sama dengan study kritis mengenai pengetahuan.
3.      Tumpuan Pengetahuan
Ada dua sumber pengetahuan yaitu pengalaman (empiris) dan pemikiran (ratio). Terlepas dari keduanya, muncul satu sumber yaitu Intusionisme atau Irasionalisme dengan tokoh Henry Bergson, menurutnya insting dan intuisi merupakan sumber pengetahuan yang sebenarnya yang dibawa oleh manusia sejak lahir.[1] Ada aliran lain yang memadukan kedua sumber (empiris dan ratio) sebagai tumpuan pengetahuan yaitu kritisisme. Lain dengan Fenomenologi aliran menentang kedua sumber itu dan menyatakan sebagai tumpuan pengetahuan.
Jika dikaitkan dengan unsur pengetahuan yang meliputi pengamatan, sasaran dan kesadaran, maka sebagai tumpuan pengetahuan empirisme menunjukkan pengamatan rasionalisme mengarah pada kesadaran, kritisisme memadukan pengamatan dan kesadaran.
Sedang intuisionisme terlepas dari ikatan di atas, sebab sasarannya ada di luar akal.
Aliran intuisionisme atau irasionalisme berkeyakinan bahwa sekedar berfikir saja tidak cukup untuk mencari kebenaran, sebab logika hanya bisa menerangkan, mengurai dan mengatur. Menurut aliran intuisisme, insting merupakan sumber pengetahuan.
4.      Macam Pengetahuan
Pengetahuan adalah mengakui sesuatu terhadap sesuatu. Mengetahui berarti menerima secara akali.  Dipandang dari cara pembentukannya, pengetahuan ada dua macam yaitu pengetahuan langsung dan pengetahuan tidak langsung. Pengetahuan langsung diperoleh melalui pengamatan lahir (persepsi ekstern) sedangkan pengamatan batin (persepsi intern) tanpa perantara.
Contoh : Heru duduk menyendiri (persepsi ekstern),
 Dia merenungi nasibnya (persepsi intern).
Pengetahuan tidak langsung didapat melalui perantara yaitu konklusi (penyimpulan yang tepat) dan autoriti (pemberitahuan yang berkesan)  pemberutahuan utusan/ajaran agama yang diyakini.
Contoh : Panjang x Lebar = Tinggi (Konklusi)
               Tuhan itu Esa dan Kekal (Autoriti)
Miska Muhammad Amien menjelaskan adanya dua macam pengetahuan yaitu pengetahuan wahyu dan pengetahuan ilham.[2]
a.       Wahyu adalah Firman Allah yang berisi pengetahuan yang diturunkan kepada manusia pilihan yaitu Nabi/Rasul. Wahyu mencakup berbagai aspek kehidupan khususnya hubungan manusia dengan Al-Khalik yang disebut “ibadah”, juga hubungan dengan manusia dengan sesama makhluk disebut muamalah.
b.      Pengetahuan Ilham adalah petunjuk yang disampaikan melalui hati sanubari setiap orang. Ilham juga sebagai devine inspiration.
Dengan adanya berbagai jenis pengetahuan di atas, timbu pertanyaan “bagaimana manusia bisa tahu?”, “bagaimana orang bisa berpindah dari pengetahuan konkrit menuju pegetahuan absrak?”.
Dalam menangkap objek konkrit, tidak semua indra digunakan melainkan hanya indra tertentu. Oleh karena itu, pengetahuan yang diperoleh tertentu pula. Sebagai contoh “Awan hanya bisa dilihat, suara hanya bisa didengar”.
Indra yang menangkap rangsangan (objek) di luar akan meninggalkan kesan pada manusia yang berupa ciri atau sifat objek. Kesan ini disebut tanggapan.
Bagaimana tahap pengetahuan orang akan sesuatu, Ahmad Hanafi, M.A mengemukakan beberapa fase pengenalan.[3]
a)      Mengamati hal indrawi secara berurutan; bentuk-warna, ukuran-letak. Misalnya : Bola bulat putih yang besar di keranjang.
b)      Mengenal ciri pokok (esensial) sekalipun sifat indrawi (aksidental)nya berubah-ubah. Contoh : Kursi makan ciri esensialnya adalah kaki, sandaran sedangkan ciri aksidentalnya adalah model, bahan dan ukuran.
c)      Mengaitkan sesuatu dengan sesuatu yang lain berdasarkan pertalian kegiatan untuk dijadikan pengalaman, misalnya : hubungan awan tebal dan turun hujan, antara minum obat dan sehat kembali.
d)     Mengungkap rahasia hubungan sebab akibat. Misalnya : awan tebal mengakibatkan hujan turun karena awan tebal mengandung uap air.
Secara singkat orang mengenal sesuatu secara bertahap yaitu wujud lahiriyah. Ciri pokoknya, hubungannya dengan hal lain, ikatan kausalitasnya, penyebab utamanya, proses pendalamannya, dan penerapantindak lanjut.
5.      Batas Pengetahuan
Berbicara menganai dasar pengetahuan akan berkaitan pula dengan pembahasan mengenai batasannya. Sebab akan muncul pertanyaan sejauh mana pengetahuan yang diperoleh baik melalui empiri, rasio maupun intuisi bisa dipercaya kebenarannya. Orang akan mencari jawabannnya dan jawaban yang dikemukakan pasti berlainan. Ada dua teori yang mengemukakan wilayah pengetahuan yaitu skeptisisme dan objektivisme.
Skeptisisme berpandangan bahwa wilayah pengetahuan hanyalah apa yang sekarang ada dalam jiwa sebagai rekaan. Skeptis artinya ragu. Pikiran ini banyak muncul dalam kehidupan menyangkal masa lalu saya sekarang bukan saya yang dulu. Demikian juga upaya menghapus noda hitam masa lampau yang melekat dalam hidup atau memandang masa depan penuh kabut, serta rasa bimbang dan takut. Kendati demikian terdapat sisi positifnya.
1)      Skeptisisme dalam pengertian umum adalah aliran yang meragukan segala hal. Ia akan mengadakan pemekrisaan dan penelitian ulang dalam meraih kepastian.
2)      Skeptisisme dalam arti khusus adalah aliran yang mengakui adanya batas pengetahuan, pendapat semacam  ini dapat menjadikan manusia bergairah untuk hidup. Ia tidak akan terpaku pada status yang tetap, sebab ada peluang untuk berharap.
B.     Ontologi
Ontologi : Inggris Outology, Yunani ontos (ada, keberadaan) logos (study, ilmu tentang). Ontologi secara terminologi adalah pengaduan penyeledikan terhadap sifat realitas.
Pandangan beberapa filsuf :
Ontologi berarti “pengetahuan tentang yang ada”. Istilah ini muncul pada abad ke-17 diperkenalkan oleh Goelenius tahun 1636, digunakan oleh Clauberg tahun 1647, dan Du Hamel tahun 1663.
1)      Clauberg menyebut Ontologi ilmu pertama study tentang yang ada, study ini dianggap berlaku untuk semua, termasuk Allah dan semua ciptaan dan mendasari baik teologi maupun fisika. Dan juga menyebut disiplin ini Outosophia yang mempunyai arti yang sama dengan Ontologi.
2)      Bagi Gioberti Ontologi adalah disiplin filsafat dasariyah.
3)      Rosmeni Serbati mengontraskan Ontologi dengan Teologi dan Kosmologi, Ontologi adalah doktrin universal tentang yang ada. Teologi adalah doktrin tentang yang ada absolut. Kosmologi doktrin tentang yang ada relatif dan terbatas.
4)      Baumgarten mendefinisikan Ontologi sebagai study tentang “predikat-predikat yang paling umum” beliau menggunakan istilah Ontoshopia sebagai sinonim Ontologi.
Teori-teori tentang sifat realistis tertinggi.
Apa itu realitas sesungguhnya? Seorang filsuf Yunani Thales (pada abad ke-6 SM) mengatakan bahwa dunia berasal dari air. Anaximenes berpendapat bahwa dunia berasal dari udara. Jawaban terhadap permasalahan ini melahirkan berbagai asumsi ada yang mengatakan bahwa realita itu tidak berubah. Jawaban lain mengatakan bahwa realitas adalah sesuatu yang tidak dapat diketahui. Ada juga yang melihatnya dari segi lain misalnya, dimotivasi oleh keyakinan keagamaan atau kepentingan ilmiah semata terhadap masalah tersebut.[4]
Teori-teorinya antara lain :
a)      Monisme, Pluralisme, Dualisme
Pendapat yang menyatakan bahwa realitas secara mendasar adalah satu dari segi proses. Struktur dan landasan disebut monisme.
Filsafat Parmenides (abad ke-6 SM)
Parmenides mengajarkan bahwasanya sesuatu adalah wujud. Wujud mengisi semua ruang dan pemikiran. Perubahan/pluralitas hanyalah satu, perubahan hanyalah ilusi belaka. Monisme modern digambarkan dalam filsafat Hegel (1770-1813) yang mengambarkan dunia sebagai bentangan dari semua spirit absolut yang menyatakan dirinya dalam waktu.
Seorang filsuf modern awal, Descrates (1506-1650) menggambarkan dunia yang diciptakan sebagai dualitas yang mengembang, menempati ruang dan tidak mengembang yang muncul dalam pikiran manusia.
Bergson (1941) membedakan dualisme antara yang diciptakan dan yang menciptakan pemikiran dualismenya.
Plato (427-27 SM) membedakan keabadian, ketidak berubahan dan dunia yang berubah terdapat dalam fenomena pengalaman. Plato dimasukkan sebagai penganut monisme dualisme. Plato juga dikatakan sebagai penganut pluralisme dengan alasan bahwa terdapat jumlah ide nyata secara independen yang muncul dalam realitas. Dengan kata lain, monisme dualisme pluralisme pada dasarnya hanyalah cara untuk mengidentifikasi pendapat-pendapat tentang realitas dimana teori-teori tersebut memiliki perbedaan-perbedaan satu sama lain.[5]
b)      Mistisme, Materialisme dan Supernaturalisme
Mistisme berusaha mengidentifikasi suatu subjek dengan dunianya. Tujuannya terletak pada pengalaman kesatuan, lebih lanjut seorang materialisme secara praktis melihat materi atau energi sebagai realitas puncak. Seorang supernaturalisme berbicara tentang Tuhan, sebagai yang hidup dan bergerak serta memiliki wujud kita. Tuhan yang benar-benar memiliki kemampuan pencipta, menolong, mengampuni dan bereksistensi sempurna.[6]
c)      Marxisme dan Filsafat Revolusioner
Layaknya pragmatisme, marxisme menolak terhadap pendekatan intelektualisme terhadap realitas atau dunia. Walaupun manusia merupakan produk dari lingkungannya, manusia dapat menaruh dalam kendalinya.
Marxisme dan revolusi sepakat menolak institusi sosial dan ekonomi baru-baru ini. Hal ini ditandai dengan label-label seperti “kapitalisme atau kemapanan” ketika sosial dan sifat manusia termasuk dunianya merupakan hasil dari kemapanan.
C.    Axiologi
Yunani Axios = layak, pantas, nilai. Secara istilahkualitas suatu hal yang menjadikan hal itu dapat disukai, diinginkan, berguna atau dapat menjadi objek, kepentingan.
Teori-teori tentang nilai
Teori umum tentang ini bermula dari perdebatan antara Alexius Meinong dengan Cristian Von Ehrenfels pada tahun 1890 berkaitan dengan sumber nilai adalah perasaan atau kemungkinan adanya kesenangan terhadap suatu objek. Ehrenfels berpendapat bahwa sumber nilai adalah hasrat/keinginan (disire). Menurut kedua pendapat tersebut nilai adalah milik objek itu sendiri.[7]
Macam-macam nilai
1.      Nilai Instrumental
Nilai instrumental mempunyai beberapa pengertian;
-          Nilai yang dimiliki suatu hal dalam menghasilkan akibat-akibat atau hasil-hasil yang diinginkan.
-          Suatu nilai yang digunakan sebagai alat untuk memperoleh suatu yang diinginkan.
2.      Nilai Utilitarian
Pengertiannya sebagai berikut;
-          Nilai yang dipunyai oleh suatu hal yang berguna bagi pemenuhan sebuah tujuan.
-          Nilai yang dimiliki suatu hal dalam memajukan kebaikan terbesar dari jumlah besar.
Filsafat Etika
Nilai menghendaki meghargai sejumlah aspek pengalaman manusia. Nilai etika lebih diprioritaskan dibandingkan dengan nilai-nilai yang lain. Apapun tindakannya yang dilakukan, nilai moral harus mengikutinya melebihi nilai lainnya. Misalnya suatu statemen mengatakan bahwa nilai estetika merupakan nilai moral yang tertinggi. Karena begitu pentingnya, nilai moral mendapat perhatian yang cukup besar.
Teori Etika Deontologis
Etika deontologis menekankan sifat pembuktian diri dari yang benar sebagai sesuatu yang lahir dari penalaran intuisi dan moral. Seorang deontologis akan mengatakan bahwa suatu tindakan adalah wajar dan dapat menjadi benar walaupun hal ini tidak terjadi dan mendapat akibat yang baik. Seperti dia berbuat atas dasar kewajiban dengan niat baik hal ini tetap saja akan menghasilkan suatu akibat buruk yakni menyebabkan perantara atau orang lain menjadi tidak senang.
Etika Egoisme
Seseorang harus melakukan kepentingan sendiri dan mengabaikan kepentingan orang lain.
Kepentingan seseorang yang seharusnya ia lakukan dapat berbentuk :
-          Memaksimalkan kesenangan atau kebahagiaan diri sendiri.
-          Memaksimalkan kesenangan atau kebahagiaan secara umum.
Pengamat etika egoisme lainnya adalah Protagiras dan Aristoteles (setiap orang adalah sahabatnya yang terbaik.[8]
Masalah Kebaikan
Inggris good, Yunani Agothon. Mempunyai pengertian “apa yang dapat menyempurnakan sesuatu. Dan karena itu ia pantas untuk diperjuangkan.
Macam-macam kebaikan :
a.       Kebaikan ekstrinsik : suatu nilai yang diinginkan demi kepentingan sesuatu yang lainnya.
b.      Kebaikan intrinsik : nilai bagi dirinya sendiri.
c.       Kebaikan instrumental : suatu nilai sebagai sarana untuk menciptakan kebaikan lainnya.
Pandangan beberapa filsafat tentang nilai/kebaikan;
1)      Bagi Plato kebaikan tertinggi dimengerti sebagai prinsip yang mempengaruhi dunia.
2)      Bagi Hegel kebaikan merupakan kehendak manusia dengan rasional.
3)      Bagi Westermarek  kebaikan timbul dari sikap penghargaan dalam masyarakat dan kebenaran.

BAB III
KESIMPULAN
Pengkajian terhadap suatu bidang pengetahuan harus dibangun dari fondasi filsafat yang kuat, jelas, terarah, sistematis, berdasarkan norma-norma keilmuan dan dapat dipertanggungjawabkan. Filsafat ilmu merupakan kajian yang dilakukan secara mendalam mengenai dasar-dasar ilmu. Pendekatan yang digunakan dalam menguak landasan-landasan atau dasar-dasar ilmu adalah melalui tiga hal. Pertama, pendekatan ontologi, yaitu ilmu yang mengkaji tentang hakikat. Teori hakikat pertama kali dikemukakan oleh filsuf Thales yang mengatakan bahwa hakikat segala sesuatu itu adalah air. Kemudian dalam perkembangannya, bermuncullah paham-paham tentang ontologi meliputi monoisme, dualisme, pluralisme, nihilisme, dan agnotisisme. Kedua, pendekatan epistemologi, yaitu cabang filsafat yang mempelajari asal mula atau sumber, struktur, metode dan syahnya (validitas) pengetahuan. Dalam menemukan sumber pengetahuan itu terdapat beberapa metode yaitu induktif, deduktif, positivisme, kontemplatif, dan dialektis. Ketiga, pendekatan aksiologi, yaitu teori tentang nilai (etika dan estetika). Pada adasarnya ilmu harus digunakan untuk kemaslahatan umat manusia. Ilmu dapat dimanfaatkan sebagai sarana untuk meningkatkan taraf hidup manusia dan kesejahteraannya dengan menitik beratkan pada kodrat dan martabat manusia itu sendiri, maka pengetahuan ilmiah yang diperoleh disusun dan dipergunakan secara komunal dan universal.
Ketiga pendekatan ini harus bisa menjawab hal-hal berikut : Bagaimana hakikat dari sesuatu yang ditelaah? Bagaimana cara-cara memahami pengetahuan, langkah-langkahnya, sumbernya dan metodologinya? Bagaimana urgensi, nilai dan kegunaan dari sesuatu itu? Ke tiga landasan di atas merupakan dasar pijakan yang sangat penting untuk dipahami dalam mendalami dasar-dasar segala ilmu pengetahuan. Karena ke tiganya saling berkaitan erat satu sama lain sebagai titik tolak dalam pencapaian kajian hakekat kebenaran ilmu.





















[1] Abu Hanifah, Rintisan Filsafat I. (cet. II, Jakarta. 1950) hal. 84
[2] Miska Muhammad Amien. Epistimologi Islam.(Jakarta: 1983) hal. 19
[3] Ahmad Hanafi. M.A. Pengentar Filsafat Islam. Cet iv (Jakarta;1990) hal 5
[4] Hamilton D. Hunnex. Peta Filsafat Pendekatan Kronologis dan Tematis. Terj. Zubair (Jakarta:Teraju, 2004) hal 49
[5] Ibid. Hal 50-51
[6] Ibid. Hal 51
[7] Hunnex. Ibid, hal 56
[8] Ibid hal 66

Pendidikan Ibnu Sina

BAB I
PENDAHULUAN
  1. Latar Belakang
Dalam dunia pendidikan tidak lepas dari pada peran seorang edukator dan instrumen lainnya yang mendukung terhadap suksesnya suatu pendidikan, hal ini sangat penting untuk diketahui, dipahami dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari terutama di dunia pendidika, mengingat rendahnya mutu pendidikan kita. Padahal pendidikan merupakan investasi masa depan yang perlu penanganan serius.
Berangkat dari latar belakang di atas kami akan mencoba untuk menelaah konsep-konsep pendidikan dalam sebuah makalah yang berjudul “KONSEP PENDIDIKAN MENURUT IBNU SINA”.
  1. Rumusan Masalah
1.    Bagaimana Konsep Pedidikan Ibnu Sina dilihat dari Tujuan Pendidikan?
2.    Bagaimana Konsep Pendidikan Ibnu Sina dilihat dari segi Kurikulum?
3.    Bagaimana Konsep Pendidikan Ibnu Sina dilihat dari Konsep Guru?
4.    Bagaimana Konsep Pendidikan Ibnu Sina dilihat dari segi Hukuman dalam Pengajaran?

BAB II
  1. Biografi dan Pendidikan Ibnu Sina
Nama lengkap Ibnu Sina adalah Abu ’Ali al-Husyn ibn Abdullah. Penyebutan nama ini telah menimbulkan perbedaan pendapat dikalangan para ahli sejarah. Sebagian dari mereka mengatakan bahwa nama tersebut diambil dari bahasa latin, Avin Sina, dan sebagian yang lain mengatakan bahwa nama tersebut diambil dari kata Al-Shin yang dalam bahasa Arab berarti Cina. Selain itu ada juga pendapat yang mengatakan bahwa nama tersebut dihubungkan dengan nama tempat kelahirannya, yaitu Afshana.[1]
Dalam sejarah pemikiran islam, Ibnu Sina dikenal sebagai intelektual muslim yang banyak mendapatkan gelar. Ia lahir pada tahun 370 H. bertepatan dengan tahun 980 M, di Afshana, suatu daerah yang terletak di dekat Bukhara, di kawasan Asia Tengah. Ayahnya bernama Abdullah dari Belkh, suatu kota yang termasyhur dikalangan orang-orang Yunani, kota tersebut sebagai pusat kegiatan politik, juga sebagai pusat kegiatan intelektual dan keagamaan.
Adapun Ibu Ibnu Sina bernama Astarah, berasal dari Afshana yang termasuk wilayah Afganistan. Namun demikian,  ada yang menyebutkan sebagai orang berkebangsaan Persia, karena pada abad ke-10 M, wilayah Afganistan ini termasuk daerah Persia.
Tampilnya Ibnu Sina selain sebagai ilmuwan yang terkenal didukung oleh tempat kelahirannya sebagai ibu kota kebudayaan, dan orang tuanya yang dikenal sebagai pejabat tinggi, juga karena kecerdasannya yang luar biasa. Sejarah mencatat, bahwa Ibnu Sina memulai pendidikannya pada usia lima tahun di kota kelahirannya Bukhara. Pengetahuan yang pertama kali ia pelajari ialah membaca Al-Qur’an. Setelah itu ia melanjutkan dengan mempelajari ilmu-ilmu agama islam seperti tafsir, fiqh, ushuluddin dan lain-lain. Berkat ketekunan dan kecerdasannya, ia berhasil menghafalkan Al-Qur’an dan menguasai berbagai cabang ilmu ke-Islaman pada usia yang belum genap sepuluh tahun.
Ibnu Sina banyak berkaitan dengan pendidikan, barangkali menyangkut pemikirannya tentang falsafat ilmu. Menurut Ibnu Sina ilmu terbagi menjadi 2, yaitu:
·         Ilmu yang tak kekal
·         Ilmu yang kekal, dari peranannya ilmu yang kekal merupakan alat yang dapat disebut dengan logika.
Tapi berdasarkan tujuannya, ilmu dapat dibagi menjadi ilmu yang praktis dan ilmu yang teoritis.[2]
Sejarah mencatat sejumlah guru yang pernah mendidik Ibnu Sina diantaranya: Mahmud al-Massah (ahli matematika), Abi Muhammad Ismail ibn al Husyaini (ahli fiqh), Abi Abdillah an-Natili (ahli manthiq dan falsafah)
Selanjutnya dengan cara otodidak, Ibnu Sina mempelajari ilmu kedokteran secara mendalam, hingga ia menjadi seorang dokter yang termasyhur pada zamannya. Hal ini didukung oleh kesungguhannya melakukan penelitian dan praktek pengobatan. Berkenaan dengan ini sebagian para penerjemah menduga bahwa Ibnu Sina mempelajari ilmu kedokteran dari ‘Ali abi Sahl al-Masity dan Abi Mansur al-Hasan ibn Nuh al-Qamary. Dengan cara demikian, ilmu kedokteran mengalami perkembangan yang didukung oleh keluasan teori dan praktek.
Upaya memperdalam dan menguasai berbagai cabang ilmu pengetahuan dilanjutkan Ibnu Sina pada saat ia memperoleh kesempatan menggunakan perpustakaan milik Nuh bin Mansyur yang pada saat itu menjadi sultan di Bukhara. Kesempatan tersebut terjadi karena jasa Ibnu Sina yang berhasil mengobati penyakit Sultan tersebut hingga sembuh.
Dengan menenggelamkan diri dalam membaca buku-buku yang terdapat dalam perpustakaan tersebut, Ibnu Sina berhasil mencapai puncak kemahiran dalam ilmu pengetahuan. Tidak ada satupun cabang ilmu pengetahuan yang tidak dipelajari. Hampir setahun lamanya ia membaca dan menelaah buku-buku yang terdapat di perpustakaan tersebut, sampai datang musibah yang memutuskan semua harapannya, yaitu terjadinya kebakaran pada perpustakaan tersebut hingga memusnahkan buku-buku yang ada di dalamnya.
Ibnu Sina dapat leluasa masuk ke perpustakaan istana Samawi yang besar. Ibnu Sina mengenai perpustakaan itu mengatakan demikian. “semua buku yang aku inginkan ada di situ. Bahkan aku menemukan banyak buku yang kebanyakan orang bahkan tak pernah mengetahui namanya. Aku sendiripun belum pernah melihatnya dan tidak akan pernah melihatnya lagi. Karena itu aku dengan giat membaca kitab-kitab itu dan semaksimal mungkin memanfaatkannya. Ketika usia ku menginjak usia 18 tahun, aku telah berhasil menyelesaikan semua bidang ilmu. Ibnu Sina menguasai berbagai ilmu seperti hikmah, mantiq, dan matematika dengan berbagai cabangnya.
Dalam bidang karir dan pekerjaan yang pertama kali ia lakukan adalah seperti orang tuanya, yaitu membantu tugas-tugas pangeran Nuh bin Mansur. Ia misalnya diminta menyusun kumpulan pemikiran filsafat oleh Abu al-Husain al- ‘Arudi. Untuk ini ia menyusun buku al-majmu’. Setelah ia menulis buku al-Hasbil wa al-Manshul dan al-Birr wa al-Ism atas permintaan Abu Bakar al-barqy al-Hawarizmy.
Selanjutnya ketika Ibnu Sina berusia 22 tahun ayahnya meninggal dunia, dan kemudian terjadi kemelut politik ditubuh pemerintahan Nuh bin Mansur dan Abd Malik yang saling berebut kekuasaan, yang dimenangkan Abdul Malik. Selanjutnya dalam keadaan pemerintahan yang belum stabil itu datang pula serbuan dari kesultanan Mahmud Al-Ghaznawi, sehingga seluruh wilayah kerajaan Tsamani yang berpusat di Bukhara jatuh ketangan penyerbu itu.
Dalam keadaan situasi politik yang kurang menguntungkan itu, Ibnu Sina memutuskan diri untuk pergi meninggalkan daerah asalnya. Ia pergi ke Karkang yang termasuk ibu kota Al-Khawarizm. Di kota ini, Ibnu Sina berkenalan dengan sejumlah pakar seperti Abu Al-Khair Al-Khamar, Abu Sahl ‘Isa bin yahya Al-Masity Al-Jurjani, Abu Ar-Rayhan Al-Biruni dan Abu Nashr Al- ‘Iraqi. Setelah itu Ibnu Sina melanjutkan perjalanan ke Nasa, Abiwarud, Syaqan, Jajarin dan terus ke Jurjan. Ibnu Sina berkesempatan untuk menyelesaikan beberapa karya tulisnya seperti kitab As-Syifa, An-Najab dan Al-Qanun fi Al-Thibb.
Setelah itu Ibnu Sina terserang penyakit Colic dan karena keinginannya untuk sembuh demikian kuat, sehingga ia pernah minta obat sampai delapan kali dalam sehari. Sekalipun jiwanya terancam karena penyakitnya, ia masih tetap aktif menghadiri sidang-sidang majelis ilmu di Isfhana. Ibnu Sina juga dikenal sebagai seorang ulama yang amat produktif. Buku-buku karangannya hampir meliputi seluruh cabang ilmu pengatahuan, diantaranya: ilmu kedokteran, filsafat, ilmu jiwa, fisika, logika, politik dan satra arab.
Karya Ibnu Sina dalam bidang kedokteran antara lain Al-Qanun fi Al-Thibb. Dalam bidang filsafat As-Syifa dan An-Najab. Dalam bidang fisika Fi Asam al-‘alum al-‘aqliyah. Bidang logika Al-Isaquji. Bidang bahasa Arab Lisan Al-‘Arab.
Adapun dalam bidang agama dibagi menjadi 4 cabang, yakni:
·                     Ilmu Akhlak
·                     Ilmu cara mengatur rumah tangga
·                     Ilmu tata Negara
·                     Ilmu tentang kenabian
Dalam ilmu politik, ini juga termasuk ilmu pendidikan, karena ilmu pendidikan merupakan ilmu yang berada pada garis terdepan dalam menyiapkan kader-kader yang siap untuk melaksanakan tugas-tugas pemerintahan.
  1. Tujuan Pendidikan
Menurut Ibnu Sina, bahwa tujuan pendidikan harus diarahkan pada pengembangan seluruh potensi yang dimiliki seseorang ke arah perkembangannya yang sempurna, yaitu perkembangan fisik, intelektual dan budi pekerti. Selain itu tujuan pendidikan menurut Ibnu Sina harus diarahkan pada upaya mempersiapkan seseorang agar dapat hidup dimasyarakat secara bersama-sama dengan melakukan pekerjaan atau keahlian yang dipilihnya sesuai dengan bakat, kesiapan, kecenderungan dan potensi yang dimilikinya.
Khusus pendidikan yang bersifat jasmani, Ibnu Sina mengatakan hendaknya tujuan pendidikan tidak melupakan pembinaan fisik dan segala sesuatu yang berkaitan dengannya, seperti : olah raga, makan, minum, tidur dan menjaga kebersihan. Ibnu Sina berpendapat bahwa tujuan pendidikan adalah untuk mencapai kebahagiaan (sa’adat).
Melalui pendidikan jasmani olahraga, seorang anak diarahkan agar terbina pertumbuhan fisiknya dan cerdas otaknya. Sedangkan dengan pendidikan budi pekerti diharapkan seorang anak memiliki kebiasaan bersopan santun dalam pergaulan hidup sehari-hari. Dan dengan pendidikan kesenian seorang anak diharapkan dapat mempertajam perasaannya dan meningkatkan daya khayalnya.
Ibnu Sina juga mengemukakan tujuan pendidikan yang bersifat keterampilan yang ditujukan pada pendidikan bidang perkayuan, penyablonan dsb. Sehingga akan muncul tenaga-tenaga pekerja yang professional yang mampu mengerjakan pekerjaan secara professional.
Selain itu tujuan pendidikan yang dikemukakan Ibnu Sina tersebut tampak didasarkan pada pandangannya tentang Insan Kamil (manusia yang sempurna), yaitu manusia yang terbina seluruh potensi dirinya secara seimbang dan menyeluruh. Selain harus mengembangkan potensi dan bakat dirinya secara optimal dan menyeluruh, juga harus mampu menolong manusia agar eksis dalam melaksanakan fungsinya sebagai khalifah di masyarakat.
  1. Kurikulum
Secara sederhana istilah kurikulum digunakan untuk menunjukkan sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh untuk mencapai satu gelar atau ijazah. Pengertian ini sejalan dengan pendapat Crow dan Crow yang mengatakan bahwa “kurikulum adalah rancangan pengajaran yang isinya sejumlah mata pelajaran yang disusun secara sistematik yang diperlukan sebagai syarat untuk menyelesaikan suatu program pendidikan tertentu”.[3]
Kurikulum disini berfungsi sebagai alat mempertemukan kedua pihak sehingga anak didik dapat mewujudkan bakatnya secara optimal dan belajar menyumbangkan jasanya untuk meningkatkan mutu kehidupan dalam masyarakatnya.[4]
Konsep Ibnu Sina tentang kurikulum didasarkan pada tingkat perkembangan usia anak didik. Untuk usia anak 3 sampai 5 tahun misalnya, menurut Ibnu Sina perlu diberikan mata pelajaran olahraga, budi pekerti, kebersihan, seni suara, dan kesenian.[5]
Pelajaran olahraga tersebut diarahkan untuk membina kesempurnaan pertumbuhan fisik si anak dan berfungsinya organ tubuh secara optimal. Sedangkan pelajaran budi pekerti diarahkan untuk membekali si anak agar memiliki kebiasaan sopan santun dalam pergaulan hidup sehari-hari. Selanjutnya dengan pendidikan kebersihan diarahkan agar si anak memiliki kebiasaan mencintai kebersihan. Dan dengan pendidikan seni suara dan kesenian diarahkan agar si anak memiliki ketajaman perasaan dalam mencintai serta meningkatkan daya khayalnya sebagaimana telah disinggung di atas.
Mengenai mata pelajaran olahraga, Ibnu Sina memiliki pandangan yang banyak dipengaruhi oleh pandangan psikologis. Dalam hubungan ini Ibnu Sina menjelaskan ketentuan dalam berolahraga yang disesuaikan dengan tingkat perkembangan usia anak didik serta bakat yang dimilikinya. Dengan cara demikian dapat diketahui dengan pasti mana saja diantara anak didik yang perlu diberikan pendidikan olahraga sekedarnya saja, dan mana saja diantara anak didik yang perlu dilatih olahraga lebih banyak lagi. Ibnu Sina lebih lanjut memperinci tentang mana saja olahraga yang memerlukan dukungan fisik yang kuat serta keahlian dan mana saja olahraga yang tergolong ringan, cepat, lambat, memerlukan peralatan dan sabagainya. Menurutnya semua jenis olahraga ini disesuaikan dengan kebutuhan bagi kehidupan anak didik.
Dari sekian banyak olahraga, menurut Ibnu Sina yang perlu dimasukan kedalam kurikulum adalah olahraga kekuatan, gulat, meloncat, jalan cepat, memanah, berjalan dengan satu kaki dan mengendarai unta.
Mengenai pelajaran kebesihan, Ibnu Sina mengatakan bahwa pelajaran hidup bersih dimulai dari sejak anak bangun tidur, ketika hendak makan, sampai ketika hendak bangun kembali. Dengan cara demikian, dapat diketahui mana saja anak yang telah dapat menerapkan hidup sehat, dan mana saja anak yang berpenampilan kotor dan kurang sehat.
Selanjutnya kurikulum untuk usia 6 sampai 14 tahun menurut Ibnu Sina adalah mencakup pelajaran membaca dan menghafal Al-Qur’an, pelajaran agama, pelajaran syar’i dan pelajaran olahraga.
Pelajaran membaca dan menghafal menurut Ibnu Sina berguna di samping untuk mendukung pelaksanaan ibadah yang memerlukan bacaan ayat-ayat Al-Qur’an, juga untuk mendukung keberhasilan dalam mempelajari agama islam seperti pelajaran Tafsir Al-Qur’an, Fiqh, Tauhid, Akhlak dan pelajaran agama lainnya yang sumber utamanya Al-Qur’an. Selain itu pelajaran membaca dan menghafal Al-Qur’an juga mendukung keberhasilan dalam mempelajari bahasa arab, karena dengan menguasai Al-Qur’an berarti ia telah menguasai kosa kata bahasa arab atau bahasa Al-Qur’an. Dengan demikian penetapan pelajaran membaca Al-Qur’an tampak bersifat startegis dan mendasar, baik dilihat dari segi pembinaan sebagai pribadi muslim, maupun dari segi pembentukan ilmuwan muslim, sebagaimana yang diperlihatkan Ibnu Sina sendiri. Sudah menjadi alat kebiasaan umat islam mendahulukan pelajaran Al-Qur’an dari yang lain-lain.
Hikmahnya : untuk mengambil berkah dan mengharapkan pahala khawatir kalau anak-anak tidak terus belajar lalu keluar sebelum anak tersebut sampai membaca/menghafal Al-Qur’an. Akhirnya anak-anak tidak mengenal Al-Qur’an sama sekali.[6]
Selanjutnya kurikulum untuk usia 14 tahun ke atas menurut Ibnu Sina mata pelajaran yang diberikan amat banyak jumlahnya, namun pelajaran tersebut perlu dipilih sesuai dengan bakat dan minat si anak. Ini menunjukkan perlu adanya pertimbangan dengan kesiapan anak didik. Dengan cara demikian, si anak akan memiliki kesiapan untuk menerima pelajaran tersebut dengan baik. Ibnu Sina menganjurkan kepada para pendidik agar memilihkan jenis pelajaran yang berkaitan dengan keahlian tertentu yang dapat dikembangkan lebih lanjut oleh muridnya.
Kedua, bahwa startegi penyusunan kurikulum yang ditawarkan Ibnu Sina juga didasarkan pada pemikiran yang bersifat pragmatis fungsional, yakni dengan melihat segi kegunaan dari ilmu dan keterampilan yang dipelajari dengan tuntutan masyarakat, atau berorientasi pasar (marketing oriented). Dengan cara demikian, setiap lulusan pendidikan akan siap difungsikan dalam berbagai lapangan pekerjaan yang ada dimasyarakat.
Ketiga, strategi pembentukan kurikulum Ibnu Sina tampak sangat dipengaruhi oleh pengalaman yang terdapat dalam dirinya. Pengalaman pribadinya dalam mempelajari berbagai macam ilmu dan keterampilan ia coba tuangkan dalam konsep kurikulumnya. Dengan kata lain, ia menghendaki agar setiap orang yang mempelajari berbagai ilmu dan keahlian juga menempuh sebagaimana cara yang ia lakukan.
Dengan melihat ciri-ciri tersebut dapat dikatakan bahwa konsep kurikulum Ibnu Sina telah memenuhi persyaratan penyusunan kurikulum yang dikehendaki masyarakat modern saat ini. Konsep kurikulum untuk anak 3 sampai 5 tahun misalnya, tampak masih cocok untuk diterapkan dimasa sekarang, seperti pada kurikulum Taman Kanak-Kanak.
  1. Metode Pengajaran
Konsep metode yang ditawarkan Ibnu Sina antara lain terlihat pada setiap materi pelajaran. Dalam setiap pembahasan materi pelajaran, Ibnu Sina selalu membicarakan tentang cara mengajarkan kepada anak didik. Berdasarkan pertimbangan psikologinya, Ibnu Sina berpendapat bahwa suatu materi pelajaran tertentu tidak akan dapat dijelaskan kepada bermacam-macam anak didik dengan satu cara saja, melainkan harus dicapai dengan berbagai cara sesuai dengan perkembangan psikologisnya.
Penyampaian materi pelajaran pada anak menurutnya harus disesuaikan dengan sifat dari materi pelajaran tersebut, sehingga antara metode dengan materi yang diajarkan tidak akan kehilangan daya relevansinya. Metode pengajaran yang ditawarkan Ibnu Sina antara lain metode talqin, demonstrasi, pembiasaan dan teladan, diskusi magang, dan penugasan.
Yang dimaksud dengan metode talqin dalam cara kerjanya digunakan untuk mengajarkan membaca Al-Qur’an, dimulai dengan cara memperdengarkan bacaan Al-Qur’an kepada anak didik sebagian demi sebagian. Setelah itu anak tersebut disuruh mendengarkan dan disuruh mengulangi bacaan tersebut perlahan-lahan dan dilakukan berulang-ulang hingga hafal. Cara seperti ini dalam ilmu pendidikan modern dikenal dengan nama tutor sebaya, sebagaimana dikenal dalam pengajaran dengan modul.
Selanjutnya mengenai metode demontrasi menurut Ibnu Sina dapat digunakan dalam cara mengajar menulis. Menurutnya jika seorang guru akan mempergunakan metode tersebut, maka terlebih dahulu ia mencontohkan tulisan huruf hijaiyah dihadapan murid-muridnya. Setelah itu barulah menyuruh para murid untuk mendengarkan ucapan huruf-huruf hijaiyyah sesuai dengan makhrajnya dan dilanjutkan dengan mendemonstrasikan cara menulisnya.
Berkenaan dengan metode pembiasaan dan teladan, Ibnu Sina mengatakan bahwa pembiasaan adalah termasuk salah satu metode pengajaran yang paling efektif, khususnya mengajarkan akhlak. Cara tersebut secara umum dilakukan dengan pembiasaan dan teladan yang disesuaikan dengan perkembangan jiwa si anak, sebagaimana hal ini telah disinggung pada uraian diatas.
Selanjutnya metode diskusi dapat dilakukan dengan cara penyajian pelajaran dimana siswa dihadapkan pada suatu masalah yang dapat berupa pertanyaan yang bersifat problematik untuk dibahas dan dipecahkan bersama.
Berkenaan dengan metode magang, Ibnu Sina telah menggunakan metode ini dalam kegiatan pengajaran yang dilakukannya. Para murid Ibnu Sina yang mempelajari ilmu kedokteran dianjurkan agar menggabungkan teori dan praktek. Yaitu satu hari di ruang kelas untuk mempelajari teori dan hari berikutnya mempraktekan teori tersebut di rumah sakit atau balai kesehatan.
Selanjutnya berkenaan dengan metode penugasan adalah cara penyajian bahan pelajaran dimana guru memberikan tugas tertentu agar siswa melakukan kegiatan belajar. Dalam bahasa arab pengajaran dengan penugasan ini dikenal dengan istilah at-ta’iim bi al-marasil (pengajaran dengan mengirimkan sejumlah naskah atau modul).
Dalam keseluruhan uraian mengenai metode pengajaran tersebut diatas terdapat empat ciri penting, yakni:
·         Uraian tentang berbagai metode tersebut memperlihatkan adanya keinginan yang besar dari Ibnu Sina terhadap keberhasilan pengajaran.
·         Setiap metode yang ditawarkannya selalu dilihat dalam perspektif kesesuaiannya dengan bidang studi yang diajarkannya serta tingkat usia peserta didik.
·         Metode pengajaran yang ditawarkan Ibnu Sina juga selalu memperhatikan minat dan bakat si anak didik.
·         Metode yang ditawarkan Ibnu Sina telah mencakup pengajaran yang menyeluruh mulai dari tingkat taman kanak-kanak sampai dengan tingkat perguruan tinggi.
Ciri-ciri metode tersebut hingga sekarang masih banyak digunakan dalam kegiatan belajar mengajar. Hal ini menunjukkan bahwa pemikiran Ibnu Sina dalam bidang metode pengajaran masih relevan dengan tuntutan zaman.
  1. Konsep Guru
Konsep guru yang ditawarkan Ibnu Sina antara lain berkisar tentang guru yang baik. Dalam hubungan ini Ibnu Sina mengatakan bahwa guru yang baik adalah berakal cerdas, beragama, mengetahui cara mendidik akhlak, cakap dalam mendidik anak, berpenampilan tenang, jauh dari berolok-olok dan main-main dihadapan muridnya, tidak bermuka masam, sopan santun, dan suci murni.
Lebih lanjut Ibnu Sina menambahkan bahwa seorang guru itu sebaiknya dari kaum pria yang terhormat dan menonjol budi pekertinya, cerdas, teliti, sabar, telaten dalam membimbing anak-anak, adil, hemat dalam penggunaan waktu, gemar bergaul dengan anak-anak dll.
Berkenaan dengan tugas pendidikan, maka tugas seorang guru tidaklah mudah. Sebab pada hakekatnya tugas pendidikan yang utama adalah membentuk perkembangan anak dan membiasakan kebiasaan yang baik dan sifat-sifat yang baik menjadi faktor utama guna mencapai kebahagiaan anak, oleh karena itu orang yang ditiru hendaklah menjadi pemimpin yang baik, contoh yang bagus dan berakhlak hingga tidak meninggalkan kesan buruk dalam jiwa anak yang menirunya.[7]
Jika diamati secara seksama, tampak bahwa potret guru yang dikehendaki Ibnu Sina adalah guru yang lebih lengkap dari potret guru yang dikemukakan para ahli sebelumnya. Dalam pendapatnya itu Ibnu Sina selain menekankan unsur kompetensi atau kecakapan dalam mengajar, juga berkepribadian yang baik. Dengan kompetensi itu, seorang guru akan dapat mencerdaskan anak didiknya dengan berbagai pengetahuan yang diajarkannya, dan dengan akhlak ia dapat membina mental dan akhlak anak.
  1. Konsep Hukuman dalam Pengajaran
Ibnu Sina pada dasarnya tidak berkenan menggunakan hukuman dalam kegiatan pengajaran. Hal ini didasarkan pada sikapnya yang sangat menghargai martabat manusia. Namun dalam keadaan terpaksa hukuman dapat dilakukan dengan cara yang amat hati-hati. Ibnu Sina menyadari sepenuhnya, bahwa manusia memiliki naluri yang selalu ingin disayang, tidak suka diperlakukan kasar dan lebih suka diperlakukan halus. Atas dasar pandangan kemanusiaan inilah maka Ibnu Sina sangat membatasi pelaksanaan hukuman.
Penggunaan-penggunaan bantuan tangan adalah pembantu paling diandalkan dan merupakan seni bagi seorang pendidik. Dengan ada kontrol secara terus-menerus, maka mendidik anak dapat diawasi dan diarahkan sesuai dengan tujuan pendidikan.[8]
Ibnu Sina membolehkan pelaksanaan hukuman dengan cara yang ekstra hati-hati, dan hal itu hanya boleh dilakukan dalam keadaan terpaksa atau tidak normal. Sedangkan dalam keadaan normal, hukuman tidak boleh dilakukan. Sikap humanistik ini sangat sejalan dengan alam demokrasi yang menuntut keadilan, kemanusiaan, kesederajatan, dan sebagainya.

















BAB III
PENUTUP
  1. Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat kita simpulkan bahwa konsep pendidikan Ibnu Sina memiliki pandangan tujuan pendidikan yang bersifat hirarkis-struktural yaitu bersifat universal juga bersifat kurikuler atau operasional. Dari tujuan pendidikan tersebut dapat diharapkan anak  menjadi insan kamil.
Dengan demikian tujuan pendidikan yang didalamnya terkandung strategi akan mengenai dasar dan fungsi pendidikan yang harus dikembangkan, potensi dan bakatnya secara optimal, sehingga lebih eksis dalam melaksanakan fungsinya sebagai khalifah.
Dan Ibnu Sina juga memperhatikan tingkat perkembangan usia anak didik seperti pelajaran olah raga, budi pekerti, kebersihan, dan kesenian dan lain-lain. Kesemuanya disusun di dalam kurikulum. Dari konsep kurikulum yang  ditawarkan adalah dari segi aspek psikologis, pragmatis fungsional, dan strategi.
Adapun konsep metode pengajaran ia menggunakan berbagai macam cara mendidik yang sesuai dengan perkembangan psikologisnya seperti metode talqin, demonstrasi, pembiasaan, teladan, diskusi, magang, dan penugasan.
Guru yang ideal adalah guru yang baik yang memiliki kepribadian yang agamis yang mencakup di dalamnya, hal ini tampak pada kepribadian Ibnu Sina sendiri. Sedangkan konsep hukuman pada anak didik ia menekankan pada sikap humanistik.
  1. Saran
Kita sebagai mahasiswa tentunya meneladani terhadap pemikiran para tokoh pendidikan di dunia Islam seperti Ibnu Sina, serta mengkaji, memahami yang tersirat di dalamnya dan mengimplementasikan dalam kehidupan ini.


[1] Sayyed Hosain, Tiga Madzhab Ulama Filsafat Islam,(Yogyakarta, IRCisod,2006) hal.27
[2] jalaluddin & Drs. Usman Said, Filsafat Pend. Islam, Jakarta, PT. Raja Grafindo,1999 hal.136
[3] Crow dan Crow, Pengantar Ilmu Pendidikan,(Yogyakarta:Rake sarasin, 1990), Edisi III hal.75
[4] Dr. Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, kalam Mulia, Jakarta,1994 hal.62.
[5] Ibn Sina, Kitab As-Syiasah Fi attarbiyah, ( Mesir: majalah Al-Masyrik, 1906) hal.1076
[6] Prof. Dr. H. M. Yunus,SPI, PT Hidakarya Agung, Jakarta, 1989 hal. 53
[7] Prof. Dr. Azyumardi Azra MA, Esei-esei Intelektual Muslim Pendidikan Islam, PT. Logos Wacana Ilmu, Ciputat, 1999 hal.81
[8] Ibid hal. 83