BAB I
PENDAHULUAN
- Latar Belakang
Dalam dunia pendidikan
tidak lepas dari pada peran seorang edukator dan instrumen lainnya yang
mendukung terhadap suksesnya suatu pendidikan, hal ini sangat penting untuk
diketahui, dipahami dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari terutama di
dunia pendidika, mengingat rendahnya mutu pendidikan kita. Padahal pendidikan
merupakan investasi masa depan yang perlu penanganan serius.
Berangkat dari latar belakang di
atas kami akan mencoba untuk menelaah konsep-konsep pendidikan dalam sebuah
makalah yang berjudul “KONSEP PENDIDIKAN MENURUT IBNU SINA”.
- Rumusan Masalah
1.
Bagaimana Konsep Pedidikan Ibnu Sina dilihat dari
Tujuan Pendidikan?
2.
Bagaimana Konsep Pendidikan Ibnu Sina dilihat
dari segi Kurikulum?
3.
Bagaimana Konsep Pendidikan Ibnu Sina dilihat
dari Konsep Guru?
4.
Bagaimana Konsep Pendidikan Ibnu Sina dilihat
dari segi Hukuman dalam Pengajaran?
BAB II
- Biografi dan Pendidikan Ibnu Sina
Nama
lengkap Ibnu Sina adalah Abu ’Ali al-Husyn ibn
Abdullah. Penyebutan nama ini telah menimbulkan perbedaan pendapat dikalangan para ahli
sejarah. Sebagian dari mereka mengatakan bahwa nama tersebut diambil dari bahasa latin, Avin
Sina, dan sebagian yang lain mengatakan bahwa nama tersebut diambil dari kata
Al-Shin yang dalam bahasa Arab berarti Cina. Selain itu ada juga pendapat yang
mengatakan bahwa nama tersebut dihubungkan dengan nama tempat kelahirannya,
yaitu Afshana.[1]
Dalam
sejarah pemikiran islam, Ibnu Sina dikenal sebagai intelektual muslim yang
banyak mendapatkan
gelar. Ia lahir pada tahun 370 H. bertepatan dengan tahun 980 M, di Afshana,
suatu daerah yang terletak di dekat Bukhara,
di kawasan Asia Tengah. Ayahnya bernama Abdullah dari Belkh, suatu kota yang
termasyhur dikalangan orang-orang Yunani, kota tersebut sebagai pusat kegiatan
politik, juga sebagai pusat kegiatan
intelektual dan keagamaan.
Adapun
Ibu Ibnu Sina bernama Astarah, berasal dari Afshana yang termasuk wilayah
Afganistan. Namun demikian, ada yang
menyebutkan sebagai orang
berkebangsaan Persia, karena pada abad ke-10 M, wilayah Afganistan ini termasuk daerah Persia.
Tampilnya Ibnu Sina selain sebagai ilmuwan yang terkenal
didukung oleh tempat kelahirannya sebagai ibu kota kebudayaan, dan orang tuanya
yang dikenal sebagai pejabat tinggi, juga karena kecerdasannya yang luar biasa.
Sejarah mencatat, bahwa Ibnu Sina memulai pendidikannya pada usia lima tahun di
kota kelahirannya Bukhara. Pengetahuan
yang pertama kali ia pelajari ialah membaca Al-Qur’an.
Setelah itu ia melanjutkan dengan mempelajari ilmu-ilmu agama islam seperti
tafsir, fiqh, ushuluddin dan lain-lain. Berkat ketekunan dan kecerdasannya, ia
berhasil menghafalkan Al-Qur’an dan menguasai berbagai cabang ilmu ke-Islaman pada usia yang belum genap
sepuluh tahun.
Ibnu
Sina banyak berkaitan
dengan pendidikan, barangkali menyangkut pemikirannya tentang falsafat ilmu. Menurut Ibnu Sina ilmu terbagi menjadi 2, yaitu:
·
Ilmu yang tak kekal
·
Ilmu yang kekal, dari peranannya ilmu yang kekal
merupakan
alat yang dapat disebut dengan logika.
Tapi berdasarkan tujuannya, ilmu
dapat dibagi menjadi ilmu yang praktis dan ilmu yang teoritis.[2]
Sejarah mencatat sejumlah guru yang pernah mendidik Ibnu Sina diantaranya: Mahmud
al-Massah (ahli matematika), Abi Muhammad Ismail ibn al Husyaini (ahli fiqh), Abi
Abdillah an-Natili (ahli manthiq dan falsafah)
Selanjutnya
dengan cara otodidak, Ibnu Sina mempelajari ilmu kedokteran secara mendalam, hingga
ia menjadi seorang dokter yang termasyhur pada zamannya. Hal ini didukung oleh
kesungguhannya melakukan penelitian dan praktek pengobatan. Berkenaan dengan
ini sebagian para penerjemah menduga bahwa Ibnu Sina
mempelajari ilmu kedokteran dari ‘Ali abi Sahl al-Masity dan Abi Mansur al-Hasan ibn Nuh al-Qamary.
Dengan cara demikian, ilmu kedokteran mengalami perkembangan yang didukung oleh
keluasan teori dan praktek.
Upaya
memperdalam dan menguasai berbagai cabang ilmu pengetahuan dilanjutkan Ibnu
Sina pada saat ia memperoleh kesempatan menggunakan perpustakaan milik Nuh bin
Mansyur yang pada saat itu menjadi sultan di Bukhara. Kesempatan tersebut
terjadi karena jasa Ibnu Sina yang berhasil mengobati penyakit Sultan tersebut
hingga sembuh.
Dengan
menenggelamkan diri dalam membaca buku-buku yang terdapat dalam perpustakaan
tersebut, Ibnu Sina berhasil mencapai puncak kemahiran dalam ilmu pengetahuan.
Tidak ada satupun cabang ilmu pengetahuan yang tidak dipelajari. Hampir setahun lamanya
ia membaca dan menelaah buku-buku yang terdapat di perpustakaan tersebut, sampai datang
musibah yang memutuskan semua harapannya, yaitu terjadinya kebakaran pada
perpustakaan tersebut hingga memusnahkan buku-buku yang ada di dalamnya.
Ibnu
Sina dapat leluasa masuk ke perpustakaan istana Samawi yang besar. Ibnu Sina
mengenai perpustakaan itu mengatakan demikian. “semua buku yang aku inginkan ada di
situ. Bahkan aku menemukan banyak buku yang kebanyakan orang bahkan tak pernah
mengetahui namanya. Aku sendiripun belum pernah melihatnya dan tidak akan
pernah melihatnya lagi. Karena itu aku dengan giat membaca kitab-kitab itu dan
semaksimal mungkin memanfaatkannya. Ketika usia ku menginjak usia 18 tahun, aku
telah berhasil menyelesaikan semua bidang ilmu”. Ibnu Sina menguasai berbagai ilmu
seperti hikmah, mantiq, dan matematika dengan berbagai cabangnya.
Dalam
bidang karir dan pekerjaan yang pertama kali ia lakukan adalah seperti orang
tuanya, yaitu membantu tugas-tugas pangeran Nuh bin Mansur. Ia misalnya diminta
menyusun kumpulan pemikiran filsafat oleh Abu al-Husain al- ‘Arudi. Untuk ini
ia menyusun buku al-majmu’. Setelah ia menulis buku al-Hasbil wa al-Manshul dan
al-Birr wa al-Ism atas permintaan Abu Bakar al-barqy al-Hawarizmy.
Selanjutnya
ketika Ibnu Sina berusia 22 tahun
ayahnya meninggal dunia, dan kemudian terjadi kemelut politik ditubuh
pemerintahan Nuh bin Mansur dan Abd Malik yang saling
berebut kekuasaan, yang dimenangkan Abdul Malik. Selanjutnya dalam keadaan
pemerintahan yang belum stabil itu datang pula serbuan dari kesultanan Mahmud
Al-Ghaznawi, sehingga seluruh wilayah kerajaan Tsamani yang berpusat di Bukhara
jatuh ketangan penyerbu itu.
Dalam
keadaan situasi politik yang kurang menguntungkan itu, Ibnu Sina memutuskan
diri untuk pergi meninggalkan daerah asalnya. Ia pergi ke Karkang yang termasuk ibu kota
Al-Khawarizm. Di kota ini, Ibnu Sina berkenalan dengan sejumlah pakar seperti
Abu Al-Khair Al-Khamar, Abu Sahl ‘Isa bin yahya Al-Masity Al-Jurjani, Abu Ar-Rayhan Al-Biruni dan Abu Nashr
Al- ‘Iraqi. Setelah itu Ibnu Sina melanjutkan perjalanan ke Nasa, Abiwarud,
Syaqan, Jajarin dan terus ke Jurjan. Ibnu Sina berkesempatan untuk
menyelesaikan beberapa karya tulisnya seperti kitab As-Syifa, An-Najab dan
Al-Qanun fi Al-Thibb.
Setelah
itu Ibnu Sina terserang penyakit Colic dan karena keinginannya untuk sembuh
demikian kuat, sehingga ia pernah minta obat sampai delapan kali dalam sehari.
Sekalipun jiwanya terancam karena penyakitnya, ia masih tetap aktif menghadiri
sidang-sidang majelis ilmu di Isfhana. Ibnu Sina juga dikenal sebagai seorang
ulama yang amat produktif. Buku-buku karangannya hampir meliputi seluruh cabang
ilmu pengatahuan, diantaranya: ilmu kedokteran, filsafat, ilmu jiwa, fisika,
logika, politik dan satra arab.
Karya
Ibnu Sina dalam bidang kedokteran antara lain Al-Qanun fi Al-Thibb. Dalam
bidang filsafat As-Syifa dan An-Najab. Dalam bidang fisika Fi Asam al-‘alum
al-‘aqliyah. Bidang logika Al-Isaquji. Bidang bahasa Arab Lisan Al-‘Arab.
Adapun dalam bidang agama dibagi menjadi 4 cabang, yakni:
·
Ilmu Akhlak
·
Ilmu cara mengatur rumah tangga
·
Ilmu tata Negara
·
Ilmu tentang kenabian
Dalam
ilmu politik,
ini juga termasuk ilmu pendidikan, karena ilmu pendidikan merupakan ilmu yang
berada pada garis terdepan dalam menyiapkan kader-kader yang siap untuk
melaksanakan tugas-tugas pemerintahan.
- Tujuan Pendidikan
Menurut Ibnu Sina, bahwa tujuan pendidikan harus diarahkan pada
pengembangan seluruh potensi yang dimiliki seseorang ke arah perkembangannya
yang sempurna, yaitu perkembangan fisik, intelektual dan budi pekerti. Selain
itu tujuan pendidikan menurut Ibnu Sina harus diarahkan pada upaya
mempersiapkan seseorang agar dapat hidup dimasyarakat secara bersama-sama
dengan melakukan pekerjaan atau keahlian yang dipilihnya sesuai dengan bakat,
kesiapan, kecenderungan dan potensi yang dimilikinya.
Khusus pendidikan yang bersifat jasmani, Ibnu Sina mengatakan hendaknya
tujuan pendidikan tidak melupakan pembinaan fisik dan segala sesuatu yang
berkaitan dengannya, seperti : olah raga, makan, minum, tidur dan menjaga
kebersihan. Ibnu Sina berpendapat bahwa tujuan pendidikan adalah untuk mencapai
kebahagiaan (sa’adat).
Melalui pendidikan jasmani olahraga, seorang anak diarahkan agar terbina
pertumbuhan fisiknya dan cerdas otaknya. Sedangkan dengan pendidikan budi
pekerti diharapkan seorang anak memiliki kebiasaan bersopan santun dalam
pergaulan hidup sehari-hari. Dan dengan pendidikan kesenian seorang anak
diharapkan dapat mempertajam perasaannya dan meningkatkan daya khayalnya.
Ibnu
Sina juga mengemukakan tujuan pendidikan yang bersifat keterampilan yang
ditujukan pada pendidikan bidang perkayuan, penyablonan dsb. Sehingga akan
muncul tenaga-tenaga pekerja yang professional yang mampu mengerjakan pekerjaan
secara professional.
Selain
itu tujuan pendidikan yang dikemukakan Ibnu Sina tersebut tampak didasarkan
pada pandangannya tentang Insan Kamil (manusia yang sempurna), yaitu manusia
yang terbina seluruh potensi dirinya
secara seimbang dan menyeluruh. Selain harus mengembangkan potensi dan bakat dirinya
secara optimal dan menyeluruh, juga harus mampu menolong manusia agar eksis
dalam melaksanakan fungsinya sebagai khalifah di masyarakat.
- Kurikulum
Secara sederhana istilah kurikulum digunakan untuk menunjukkan sejumlah
mata pelajaran yang harus ditempuh untuk mencapai satu gelar atau ijazah. Pengertian ini sejalan dengan
pendapat Crow dan Crow yang mengatakan bahwa “kurikulum adalah rancangan
pengajaran yang isinya sejumlah mata pelajaran yang disusun secara sistematik
yang diperlukan sebagai syarat untuk menyelesaikan suatu program pendidikan
tertentu”.[3]
Kurikulum disini berfungsi sebagai alat mempertemukan kedua pihak sehingga
anak didik dapat mewujudkan bakatnya secara optimal dan belajar menyumbangkan
jasanya untuk meningkatkan mutu kehidupan dalam masyarakatnya.[4]
Konsep
Ibnu Sina tentang kurikulum didasarkan pada tingkat perkembangan usia anak
didik. Untuk usia anak 3 sampai 5 tahun misalnya, menurut Ibnu Sina perlu
diberikan mata pelajaran olahraga, budi pekerti, kebersihan, seni suara, dan
kesenian.[5]
Pelajaran
olahraga tersebut diarahkan untuk membina kesempurnaan pertumbuhan fisik si
anak dan berfungsinya organ tubuh secara optimal. Sedangkan pelajaran budi
pekerti diarahkan untuk membekali si anak agar memiliki kebiasaan sopan santun
dalam pergaulan hidup sehari-hari. Selanjutnya dengan pendidikan kebersihan
diarahkan agar si anak memiliki kebiasaan mencintai kebersihan. Dan dengan
pendidikan seni suara dan kesenian diarahkan agar si anak memiliki ketajaman
perasaan dalam mencintai serta meningkatkan daya khayalnya sebagaimana telah disinggung
di atas.
Mengenai
mata pelajaran olahraga, Ibnu Sina memiliki pandangan yang banyak dipengaruhi
oleh pandangan psikologis. Dalam hubungan ini Ibnu Sina menjelaskan ketentuan
dalam berolahraga yang disesuaikan dengan tingkat perkembangan usia anak didik
serta bakat yang dimilikinya. Dengan cara demikian dapat diketahui dengan pasti
mana saja diantara anak didik yang perlu diberikan pendidikan olahraga
sekedarnya saja, dan mana saja diantara anak didik yang perlu dilatih olahraga
lebih banyak lagi. Ibnu Sina lebih lanjut memperinci tentang mana saja olahraga
yang memerlukan dukungan fisik yang kuat serta keahlian dan mana saja olahraga
yang tergolong ringan,
cepat, lambat, memerlukan peralatan dan sabagainya. Menurutnya semua jenis
olahraga ini disesuaikan dengan kebutuhan bagi kehidupan anak didik.
Dari sekian banyak olahraga, menurut Ibnu Sina yang perlu dimasukan kedalam
kurikulum adalah olahraga kekuatan, gulat, meloncat, jalan cepat, memanah,
berjalan dengan satu kaki dan mengendarai unta.
Mengenai pelajaran kebesihan, Ibnu Sina mengatakan bahwa pelajaran hidup
bersih dimulai dari sejak anak bangun tidur, ketika hendak makan, sampai ketika
hendak bangun kembali. Dengan cara demikian, dapat diketahui mana saja anak
yang telah dapat menerapkan hidup sehat, dan mana saja anak yang berpenampilan
kotor dan kurang sehat.
Selanjutnya kurikulum untuk usia 6 sampai 14 tahun menurut Ibnu Sina adalah
mencakup pelajaran membaca dan menghafal Al-Qur’an, pelajaran agama, pelajaran
syar’i dan pelajaran olahraga.
Pelajaran membaca dan menghafal menurut Ibnu Sina berguna di samping untuk
mendukung pelaksanaan ibadah yang memerlukan bacaan ayat-ayat Al-Qur’an, juga
untuk mendukung keberhasilan dalam mempelajari agama islam seperti pelajaran
Tafsir Al-Qur’an, Fiqh, Tauhid, Akhlak dan pelajaran agama lainnya yang sumber
utamanya Al-Qur’an. Selain itu pelajaran membaca dan menghafal Al-Qur’an juga
mendukung keberhasilan dalam mempelajari bahasa arab, karena dengan menguasai Al-Qur’an
berarti ia telah menguasai kosa kata bahasa arab atau bahasa Al-Qur’an. Dengan
demikian penetapan pelajaran membaca Al-Qur’an tampak bersifat startegis dan
mendasar, baik dilihat dari segi pembinaan sebagai pribadi muslim, maupun dari
segi pembentukan ilmuwan muslim, sebagaimana yang diperlihatkan Ibnu Sina
sendiri. Sudah
menjadi alat kebiasaan umat islam mendahulukan pelajaran Al-Qur’an dari yang
lain-lain.
Hikmahnya : untuk mengambil berkah dan mengharapkan pahala khawatir kalau
anak-anak tidak terus belajar lalu keluar sebelum anak tersebut sampai
membaca/menghafal Al-Qur’an. Akhirnya
anak-anak tidak mengenal Al-Qur’an sama sekali.[6]
Selanjutnya
kurikulum untuk usia 14 tahun ke atas menurut Ibnu Sina mata pelajaran yang
diberikan amat banyak jumlahnya, namun pelajaran tersebut perlu dipilih sesuai
dengan bakat dan minat si anak. Ini menunjukkan perlu adanya pertimbangan
dengan kesiapan anak didik. Dengan cara demikian, si anak akan memiliki
kesiapan untuk menerima pelajaran tersebut dengan baik. Ibnu Sina menganjurkan kepada para pendidik agar memilihkan jenis pelajaran yang
berkaitan dengan keahlian tertentu yang dapat dikembangkan lebih lanjut oleh
muridnya.
Kedua, bahwa startegi penyusunan kurikulum yang ditawarkan Ibnu Sina juga
didasarkan pada pemikiran yang bersifat pragmatis fungsional, yakni dengan
melihat segi kegunaan dari ilmu dan keterampilan yang dipelajari dengan
tuntutan masyarakat, atau berorientasi pasar (marketing oriented). Dengan cara demikian, setiap lulusan
pendidikan akan siap difungsikan dalam berbagai lapangan pekerjaan yang ada
dimasyarakat.
Ketiga,
strategi pembentukan kurikulum Ibnu Sina tampak sangat dipengaruhi oleh
pengalaman yang terdapat dalam dirinya. Pengalaman pribadinya dalam mempelajari
berbagai macam ilmu dan keterampilan ia coba tuangkan dalam konsep kurikulumnya.
Dengan kata lain, ia menghendaki agar setiap orang yang mempelajari berbagai
ilmu dan keahlian juga
menempuh sebagaimana cara yang ia lakukan.
Dengan melihat ciri-ciri tersebut dapat dikatakan bahwa konsep kurikulum Ibnu
Sina telah memenuhi persyaratan penyusunan kurikulum yang dikehendaki
masyarakat modern saat ini. Konsep kurikulum untuk anak 3 sampai 5 tahun
misalnya, tampak masih cocok untuk diterapkan dimasa sekarang, seperti pada
kurikulum Taman Kanak-Kanak.
- Metode Pengajaran
Konsep
metode yang ditawarkan Ibnu Sina antara lain terlihat pada setiap materi
pelajaran. Dalam setiap pembahasan materi pelajaran, Ibnu Sina selalu
membicarakan tentang cara mengajarkan kepada anak didik. Berdasarkan
pertimbangan psikologinya, Ibnu Sina berpendapat bahwa suatu materi pelajaran
tertentu tidak akan dapat dijelaskan kepada bermacam-macam anak didik dengan
satu cara saja, melainkan harus dicapai dengan berbagai cara sesuai dengan
perkembangan psikologisnya.
Penyampaian
materi pelajaran pada anak menurutnya harus disesuaikan dengan sifat dari
materi pelajaran tersebut, sehingga antara metode dengan materi yang diajarkan
tidak akan kehilangan daya relevansinya. Metode pengajaran yang ditawarkan Ibnu
Sina antara lain metode talqin, demonstrasi, pembiasaan dan teladan, diskusi
magang, dan penugasan.
Yang
dimaksud dengan metode talqin dalam cara kerjanya digunakan untuk mengajarkan
membaca Al-Qur’an, dimulai dengan cara memperdengarkan bacaan Al-Qur’an kepada
anak didik sebagian demi sebagian. Setelah itu anak tersebut disuruh
mendengarkan dan disuruh mengulangi bacaan tersebut perlahan-lahan dan
dilakukan berulang-ulang hingga hafal. Cara seperti ini dalam ilmu pendidikan
modern dikenal dengan nama tutor sebaya, sebagaimana dikenal dalam pengajaran
dengan modul.
Selanjutnya
mengenai metode demontrasi menurut Ibnu Sina dapat digunakan dalam cara
mengajar menulis. Menurutnya jika seorang guru akan mempergunakan metode
tersebut, maka terlebih dahulu ia mencontohkan tulisan huruf hijaiyah dihadapan
murid-muridnya. Setelah itu barulah menyuruh para murid untuk mendengarkan
ucapan huruf-huruf hijaiyyah sesuai dengan makhrajnya dan dilanjutkan dengan
mendemonstrasikan cara menulisnya.
Berkenaan dengan metode pembiasaan dan teladan, Ibnu Sina mengatakan bahwa
pembiasaan adalah termasuk salah satu metode pengajaran yang paling efektif,
khususnya mengajarkan akhlak. Cara
tersebut secara umum dilakukan dengan pembiasaan dan teladan yang disesuaikan
dengan perkembangan jiwa si anak, sebagaimana hal ini telah disinggung pada
uraian diatas.
Selanjutnya metode diskusi dapat dilakukan dengan cara penyajian pelajaran
dimana siswa dihadapkan pada suatu masalah yang dapat berupa pertanyaan yang
bersifat problematik untuk dibahas dan dipecahkan bersama.
Berkenaan dengan metode magang, Ibnu Sina telah menggunakan metode ini
dalam kegiatan pengajaran yang dilakukannya. Para murid Ibnu Sina yang
mempelajari ilmu kedokteran dianjurkan agar menggabungkan teori dan praktek.
Yaitu satu hari di ruang
kelas untuk mempelajari teori dan hari berikutnya mempraktekan teori tersebut
di rumah
sakit atau balai kesehatan.
Selanjutnya
berkenaan dengan metode penugasan adalah cara penyajian bahan pelajaran dimana
guru memberikan tugas tertentu agar siswa melakukan kegiatan belajar. Dalam
bahasa arab pengajaran dengan penugasan ini dikenal dengan istilah at-ta’iim bi al-marasil
(pengajaran dengan mengirimkan sejumlah naskah atau modul).
Dalam
keseluruhan uraian mengenai metode pengajaran tersebut diatas terdapat empat ciri penting, yakni:
·
Uraian tentang berbagai metode tersebut
memperlihatkan adanya keinginan yang besar dari Ibnu Sina terhadap keberhasilan pengajaran.
·
Setiap metode yang ditawarkannya selalu
dilihat dalam perspektif kesesuaiannya dengan bidang studi yang diajarkannya serta
tingkat usia peserta didik.
·
Metode pengajaran yang ditawarkan Ibnu
Sina juga selalu memperhatikan minat dan bakat si anak didik.
·
Metode yang ditawarkan Ibnu Sina telah
mencakup pengajaran yang menyeluruh mulai dari tingkat taman kanak-kanak sampai
dengan tingkat perguruan tinggi.
Ciri-ciri
metode tersebut hingga sekarang masih banyak digunakan dalam kegiatan belajar
mengajar. Hal ini menunjukkan bahwa pemikiran Ibnu Sina dalam bidang metode
pengajaran masih relevan dengan tuntutan zaman.
- Konsep Guru
Konsep
guru yang ditawarkan
Ibnu Sina antara lain berkisar tentang guru yang baik. Dalam hubungan ini Ibnu
Sina mengatakan bahwa guru yang baik adalah berakal cerdas, beragama,
mengetahui cara mendidik akhlak,
cakap dalam mendidik anak, berpenampilan tenang, jauh dari berolok-olok dan
main-main dihadapan muridnya, tidak bermuka masam, sopan santun, dan suci
murni.
Lebih lanjut Ibnu Sina menambahkan bahwa seorang guru itu
sebaiknya dari kaum pria yang terhormat dan menonjol budi pekertinya, cerdas,
teliti, sabar, telaten dalam membimbing anak-anak, adil, hemat dalam penggunaan
waktu, gemar bergaul dengan anak-anak dll.
Berkenaan
dengan tugas pendidikan, maka tugas seorang guru tidaklah mudah. Sebab pada
hakekatnya tugas pendidikan yang utama adalah membentuk perkembangan anak dan
membiasakan kebiasaan yang baik dan sifat-sifat yang baik menjadi faktor utama guna mencapai kebahagiaan
anak, oleh karena itu orang yang ditiru hendaklah menjadi pemimpin yang baik,
contoh yang bagus dan berakhlak hingga tidak meninggalkan kesan buruk dalam
jiwa anak yang menirunya.[7]
Jika diamati secara seksama, tampak bahwa potret guru
yang dikehendaki Ibnu Sina adalah guru yang lebih lengkap dari potret guru yang
dikemukakan para ahli sebelumnya. Dalam pendapatnya itu Ibnu Sina selain menekankan unsur
kompetensi atau kecakapan dalam mengajar, juga berkepribadian yang baik. Dengan
kompetensi itu, seorang guru akan dapat mencerdaskan anak didiknya dengan
berbagai pengetahuan yang diajarkannya, dan dengan akhlak ia dapat membina
mental dan akhlak anak.
- Konsep Hukuman dalam Pengajaran
Ibnu
Sina pada dasarnya tidak berkenan menggunakan hukuman dalam kegiatan
pengajaran. Hal ini didasarkan pada sikapnya yang sangat menghargai martabat
manusia. Namun dalam keadaan terpaksa hukuman dapat dilakukan dengan cara yang
amat hati-hati. Ibnu Sina menyadari sepenuhnya, bahwa manusia memiliki naluri
yang selalu ingin disayang, tidak suka diperlakukan kasar dan lebih suka
diperlakukan halus. Atas dasar pandangan kemanusiaan inilah maka Ibnu Sina
sangat membatasi pelaksanaan hukuman.
Penggunaan-penggunaan
bantuan tangan adalah pembantu paling diandalkan dan merupakan seni bagi
seorang pendidik. Dengan ada kontrol
secara terus-menerus, maka mendidik anak dapat diawasi dan diarahkan sesuai
dengan tujuan pendidikan.[8]
Ibnu
Sina membolehkan pelaksanaan hukuman dengan cara yang ekstra hati-hati, dan hal
itu hanya boleh dilakukan dalam keadaan terpaksa atau tidak normal. Sedangkan
dalam keadaan normal, hukuman tidak boleh dilakukan. Sikap humanistik ini sangat sejalan dengan alam
demokrasi yang menuntut keadilan, kemanusiaan, kesederajatan, dan sebagainya.
BAB III
PENUTUP
- Kesimpulan
Dari uraian di atas
dapat kita simpulkan bahwa konsep pendidikan Ibnu Sina memiliki pandangan
tujuan pendidikan yang bersifat hirarkis-struktural yaitu bersifat universal
juga bersifat kurikuler atau operasional. Dari tujuan pendidikan tersebut dapat diharapkan anak menjadi insan kamil.
Dengan demikian tujuan
pendidikan yang didalamnya terkandung strategi akan mengenai dasar dan fungsi
pendidikan yang harus dikembangkan, potensi dan bakatnya secara optimal, sehingga lebih eksis
dalam melaksanakan fungsinya sebagai khalifah.
Dan Ibnu Sina juga memperhatikan
tingkat perkembangan usia anak didik seperti pelajaran olah raga, budi pekerti,
kebersihan, dan kesenian dan lain-lain. Kesemuanya disusun di dalam kurikulum.
Dari konsep kurikulum yang ditawarkan
adalah dari segi aspek psikologis, pragmatis fungsional, dan strategi.
Adapun konsep metode
pengajaran ia menggunakan berbagai macam cara mendidik yang sesuai
dengan perkembangan psikologisnya seperti metode talqin, demonstrasi,
pembiasaan, teladan, diskusi, magang, dan penugasan.
Guru yang ideal adalah
guru yang baik yang memiliki kepribadian yang agamis yang mencakup di dalamnya,
hal ini tampak pada kepribadian Ibnu Sina sendiri. Sedangkan konsep hukuman
pada anak didik ia menekankan pada sikap humanistik.
- Saran
Kita sebagai mahasiswa
tentunya meneladani terhadap pemikiran para tokoh pendidikan di dunia Islam
seperti Ibnu Sina, serta mengkaji, memahami yang tersirat di dalamnya dan
mengimplementasikan dalam kehidupan ini.
[1] Sayyed Hosain, Tiga Madzhab Ulama Filsafat Islam,(Yogyakarta,
IRCisod,2006) hal.27
[2] jalaluddin
& Drs. Usman Said, Filsafat Pend. Islam, Jakarta, PT. Raja Grafindo,1999
hal.136
[3] Crow
dan Crow, Pengantar Ilmu Pendidikan,(Yogyakarta:Rake sarasin, 1990), Edisi III
hal.75
[4] Dr.
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, kalam Mulia, Jakarta,1994 hal.62.
[5] Ibn
Sina, Kitab As-Syiasah Fi attarbiyah, ( Mesir: majalah Al-Masyrik, 1906)
hal.1076
[6] Prof.
Dr. H. M. Yunus,SPI, PT Hidakarya Agung, Jakarta, 1989 hal. 53
[7] Prof.
Dr. Azyumardi Azra MA, Esei-esei Intelektual Muslim Pendidikan Islam,
PT. Logos Wacana Ilmu, Ciputat, 1999 hal.81
[8] Ibid hal. 83
Tidak ada komentar:
Posting Komentar