Problema Haji Wanita
Kita menyadari bahwa mjumlah jama’ah haji wanita cukuip tinggi, dan masih
banyak masalah manasik haji yang berkaitan dengan wanita belum diketahui oleh
wanita itu sendiri. Ketika ibadah haji itu berlangsung, banyak masalah yang
muncul secara tiba-tiba. Sering dijumpai pelaksanaan manasik haji tidak sesuai
dengan tuntunan syari’at yang telah digariskan. Masih terlihat seorang wanita
membuka auratditempat tewrbuka ketika ihram, baik untuk tujuan mengambil air
wudlu, ganti pakaian, dsb. Selain itu, bagaimana seharunya seorang wanita yang
mengalami menstruasi sedangkan thawaf belum dilaksanakan. Atau beberapa hal
lainnya yang menyangkut wanita.
Secara umum, tuntunan
al-qur’an dan as-sunah terhadap wanita pada dasarnya sama dengan tuntunan
terhadap pria. Ayat atau hadis yang secara redaksionak tertuju pada pria pada
hakikatnya juga teretuju pada wanita, kecuali jika ada indicator (qarinah)
yang menunjukkan bahwa hal tersebut pada pria.
Dalam hal ini, terdapat
ketentuan agama yang menunjukkan perbedaan bagi pria dan wanita di dalam
pelaksanaan beberapa aspek kehidupan, termasuk pada pelaksanaan manasik haji.
Haji wanita dan permasalahannya
Hgaji merupakan
kewajiban bagi pria dan wanita, seperti termuat dalam surat al-hajj ayat 27 yang berbunyi
:………………………………………………………………...
“dan bertserulah kepada manusia
untuk mengerjakan haji niscaya mereka dating kepadamu dengan berjalan kaki, dan
mengendarai unta (yang kurus) yang datang dari segenap juru yang jauh “.dalam
pelaksanaan ibadah haji pria dan wanita mempunyai kewajiban yang sama, kecuali
dalam hal-hal berikut :
1.
bahwa seorang wanita untuk menunaikan ibadah haji,
disamping telah memnuhi syarat-syarat wajibnya, haruslah disertai mahram atau
suaminya. Menurut hadis dari ibnu abbas, rasulullah saw.
Bersabda:………………………………………...
“janganlah seorang laki-laki
berduaan dengan seoarang wanita, kecuali jika ia disertai oleh mahramnya.
Begitupun wanita, jangnlah bepergian kecuali dengan mahram. Berdirilah seorang
laki-laki dan bertanya:Wahai rasulullah, isteri nsaya pergi haji, sedang saya
telah mendaftarkan diri untuk perang ini dan perang itu. Rasul menegaskan :
pergilah dan naik hajilah engkau bersama isterimu” (hadits riwayat Bukahari Muslim). Hadits diatas
seolah-olah menunjukkan wanita dilarang melakukan perjalanan tanpa disertai
mahram, termasuk melakukan perjalanan haji. Oleh Karenanya abu hanifah dan sahabatnya beranggapan bahwa
penyertaan suami atau mahram merupakan
syarat istitho’ah bagi wanita yang hendak menunaikan ibadah haji (fiqhul
mar’ah, hlm226). Akan tetapi al-hafidz mengemukakan pendapat yang masyhur dalam
mazhab as-syafi’I bahwa persyaratan istitho’ah wanita pergi haji harus disertai
suaminya, atau mahram, atau dengan wanita-wanita terpercaya (fiqhul mar’ah, hlm
227). Pendapat ini sesuai dengan hadis riwayat al-bukhari dari ‘adiy bin hatim.
2.
Izin suami bagi isteri
Wanita yang hendak melakukan ibadah haji wajib disunnatkan meminta izin
dari suaminya, apabila diizinkan dia berangkat, apabila tidak maka ia bisa
berangkat tanpa izin suaminya. Seorang suami tidak boleh menghalangi isterinya
melakukan haji wajib, karena haji merupakan ibadah yang diwajibkan atas
dirinya. Sesuai dengan sabda nabi saw.:………………………………………….
“seorang tidak mentaati siapapun
dalam maksiat terhadap al-khaliq” (HR. Al-hakim dan Ahmad).
Adapun dalam melakukan haji sunnah (kedua, ketiga,dst.) seorang isteri
wajib mendapat izin suami. Suami boleh saja tidak mengizinkan isterinya kalau
itu dipandang lebih maslahat. Hal ini sesuai dengan hadits riwayat ibnu Umar
dari rasulullah saw.tentang seorang wanita yang mempunyai suami dan kekayaan
yang cukup, tetapi tidak mendapat izin dari suaminya, beliau berkata :…………….
“wanita itu jangan berangkat
haji kecuali suaminya mengizinkan”
3. Hajinya wanita iddah
Bagi wanita yang sedang
menjalani iddah, tidak diperbolehkan melakukan ibadah haji sampai habis masa
iddahnya, baik iddah karena cerai hidup maupun cerai mati. Hal ini sesuai
dengan faham Hanafiah (Fiqhul Mar’ah, hlm 231).
Dasar acuannya
adalah QS. Al-baqarah :
234.........................................................
“orang-orang yang meninggal dunia diantaramu dengan meninggalkan
isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkann dirinya (ber’iddah) 4
bulan 10 hari. Kemudian apabila telah habis masa ’iddahnya, maka tiada dosa bagimu
(para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut
(yang ma’ruf)”.
4. Pakaian wanita dalam ihram
Pakaian ihram wanita harus
menutup seluruh auratnya kecuali muka dan kedua telapak tangan (tidak boleh
memakai sarung tangan). Selama dalam keadaaan ihram wanita dilarang membuka
pakaian ihramnya atau membuka auratnya, apabila akan mengambil wudlu, mandi
atau ganti pakaian hendaknya ditempat tertutup.
Dalam masalah aurat, wanita
harus lebih mematuhi ketentuan syar’i karena hal ini berkaitan dengan sahnya
ibadah haji yang dilakukan. Perlu diperhatikan kembali aturan menjaga aurat
selama dalam keadaan ihram sama wajibnya dengan menjaga aurat dalam shalat
(Fiqhul mar’ah, hlm 236), selain menutup aurat seperti diatas, khusus bagi
wanita ada larangan tertentu sesuai hadits ibnu Umar
ra:...............................................................
”bahwa nabi saw melarang wanita yang sedang ihram memakai sarung tangan dan
tutup muka, begitu juga dengan pakaian yang diberi wewangian (waras dan
za’faron). Mereka boleh memakai selain itu yang mereka sukai dari berbagai
warna yang dicelup, pakaian sutera, perhiasan, celana, baju atau sepatu” (HR.
Abu daud, Baihaqi dan Hakim).
5. bebrapa amalan dalam manasik haji yang
perlu diperhatikan bagi wanita
a. tidak mengeraskan suaranya ketika berdo’a,
membaca al-qur’an (tadarrus) dan mengucapkan talbiah.
b. Tidak lari-lari kecil (ar-rama) pada tiga
putaran thawaf, demikian juga ketika melintasi pilar hijau ketika sa’i.
c. Tidak mencukur rambutnya ketika tahallul,
tetapi cukup memotong sedikitnya tiga helai sepanjang jari.
6. ihrambagi wanita haidl atau nifas
dalam keadaan haidl atau nifas
wanita boleh mengerjakan semua rukun haji, kecuali thawaf, karena persyaratan
thawaf adalah suci dari hadats besar
atau kecil. Seperti diungkapkan oleh ibnu abbas dari hadits nabi
saw.:............................
”bahwa wanita yang sedang nifas dan haidl hendaklah ia mandi, lalu ihram,
dan mengerjakan semuam manasik, kecuali ia tidak thawaf sebelum ia suci
terlebih dahulu” (HR. Ahmad, Abu daud dan Tirmizi).
Dari hadits tersebut
didapatkan bahwa untuk melakukan thawaf di Baitullah, tidak bisa tidak, wajib
dalam keadaaan suci. Tetapi jika terjadi haidl setelah selesai thawaf, padahal
belum sa’i, maka sa’inya boleh langsung dikerjakan, sperti hdits yang
diriwayatkan Aisyah dan ujmmi salamah
ra:.................................................
”Apabila seorang melakukan thawaf , lalau shalat dua raka’at (sunnat
Thawaf) kemudian dia haidl, maka dia boleh meneruskan sa’i antara shafa dan marwah”
(HR. Al-atsram).
Dengan kata lain bahwa dalam
keadaan haidl atau nifas, wanita boleh melakukan wuquf di ’arafah, mabit di muzdalifah dan mina,
melontar jumrah, memotong rambut (tahallul) dan menyembelih ternak dam.
Disamping itu, bagi wanita
yang melaksanakan haji tamattu’ pada waktu ihram umrah terhalang oleh haidl,
baiuk sebelum atau sesudah niat umrah, maka setelah tiba di makkah harus
menunda pelaksanaan umrahnya sampai suci (bimbingan manasik, 1987,hlm 33)
Sedangkan bagi wanita yang
belum melkaukan thawaf ifadlah karena haidl, dan rombongannya akan segera
pulang ke tanah air, makai ia harus menunggu sampai suci dan melakukan thawaf
ifadlah. Dianjurkan untuk melapor kepada ketua kloter ybs. (TPHI), untuk
diusulkan pindah ke kloter lain, sehingga dapat melakukan thawaf ifadlah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar