Sabtu, 03 Desember 2011

Problema Haji Wanita


Problema Haji Wanita
Kita menyadari bahwa mjumlah jama’ah haji wanita cukuip tinggi, dan masih banyak masalah manasik haji yang berkaitan dengan wanita belum diketahui oleh wanita itu sendiri. Ketika ibadah haji itu berlangsung, banyak masalah yang muncul secara tiba-tiba. Sering dijumpai pelaksanaan manasik haji tidak sesuai dengan tuntunan syari’at yang telah digariskan. Masih terlihat seorang wanita membuka auratditempat tewrbuka ketika ihram, baik untuk tujuan mengambil air wudlu, ganti pakaian, dsb. Selain itu, bagaimana seharunya seorang wanita yang mengalami menstruasi sedangkan thawaf belum dilaksanakan. Atau beberapa hal lainnya yang menyangkut wanita.
            Secara umum, tuntunan al-qur’an dan as-sunah terhadap wanita pada dasarnya sama dengan tuntunan terhadap pria. Ayat atau hadis yang secara redaksionak tertuju pada pria pada hakikatnya juga teretuju pada wanita, kecuali jika ada indicator (qarinah) yang menunjukkan bahwa hal tersebut pada pria.
            Dalam hal ini, terdapat ketentuan agama yang menunjukkan perbedaan bagi pria dan wanita di dalam pelaksanaan beberapa aspek kehidupan, termasuk pada pelaksanaan manasik haji.
Haji wanita dan permasalahannya
            Hgaji merupakan kewajiban bagi pria dan wanita, seperti termuat dalam surat al-hajj ayat 27 yang berbunyi :………………………………………………………………...
“dan bertserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji niscaya mereka dating kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta (yang kurus) yang datang dari segenap juru yang jauh “.dalam pelaksanaan ibadah haji pria dan wanita mempunyai kewajiban yang sama, kecuali dalam hal-hal berikut :
1.      bahwa seorang wanita untuk menunaikan ibadah haji, disamping telah memnuhi syarat-syarat wajibnya, haruslah disertai mahram atau suaminya. Menurut hadis dari ibnu abbas, rasulullah saw. Bersabda:………………………………………...
“janganlah seorang laki-laki berduaan dengan seoarang wanita, kecuali jika ia disertai oleh mahramnya. Begitupun wanita, jangnlah bepergian kecuali dengan mahram. Berdirilah seorang laki-laki dan bertanya:Wahai rasulullah, isteri nsaya pergi haji, sedang saya telah mendaftarkan diri untuk perang ini dan perang itu. Rasul menegaskan : pergilah dan naik hajilah engkau bersama isterimu” (hadits riwayat  Bukahari Muslim). Hadits diatas seolah-olah menunjukkan wanita dilarang melakukan perjalanan tanpa disertai mahram, termasuk melakukan perjalanan haji. Oleh Karenanya  abu hanifah dan sahabatnya beranggapan bahwa penyertaan suami  atau mahram merupakan syarat istitho’ah bagi wanita yang hendak menunaikan ibadah haji (fiqhul mar’ah, hlm226). Akan tetapi al-hafidz mengemukakan pendapat yang masyhur dalam mazhab as-syafi’I bahwa persyaratan istitho’ah wanita pergi haji harus disertai suaminya, atau mahram, atau dengan wanita-wanita terpercaya (fiqhul mar’ah, hlm 227). Pendapat ini sesuai dengan hadis riwayat al-bukhari dari ‘adiy bin hatim.
2.      Izin suami bagi isteri
Wanita yang hendak melakukan ibadah haji wajib disunnatkan meminta izin dari suaminya, apabila diizinkan dia berangkat, apabila tidak maka ia bisa berangkat tanpa izin suaminya. Seorang suami tidak boleh menghalangi isterinya melakukan haji wajib, karena haji merupakan ibadah yang diwajibkan atas dirinya. Sesuai dengan sabda nabi  saw.:………………………………………….
“seorang tidak mentaati siapapun dalam maksiat terhadap al-khaliq” (HR. Al-hakim dan Ahmad).
Adapun dalam melakukan haji sunnah (kedua, ketiga,dst.) seorang isteri wajib mendapat izin suami. Suami boleh saja tidak mengizinkan isterinya kalau itu dipandang lebih maslahat. Hal ini sesuai dengan hadits riwayat ibnu Umar dari rasulullah saw.tentang seorang wanita yang mempunyai suami dan kekayaan yang cukup, tetapi tidak mendapat izin dari suaminya, beliau berkata :…………….
“wanita itu jangan berangkat haji kecuali suaminya mengizinkan”
3.      Hajinya wanita iddah
Bagi wanita yang sedang menjalani iddah, tidak diperbolehkan melakukan ibadah haji sampai habis masa iddahnya, baik iddah karena cerai hidup maupun cerai mati. Hal ini sesuai dengan faham Hanafiah (Fiqhul Mar’ah, hlm 231).
Dasar acuannya adalah QS. Al-baqarah : 234.........................................................
“orang-orang yang meninggal dunia diantaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkann dirinya (ber’iddah) 4 bulan 10 hari. Kemudian apabila telah habis masa ’iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut (yang ma’ruf)”.
4.      Pakaian wanita dalam ihram
Pakaian ihram wanita harus menutup seluruh auratnya kecuali muka dan kedua telapak tangan (tidak boleh memakai sarung tangan). Selama dalam keadaaan ihram wanita dilarang membuka pakaian ihramnya atau membuka auratnya, apabila akan mengambil wudlu, mandi atau ganti pakaian hendaknya ditempat tertutup.
Dalam masalah aurat, wanita harus lebih mematuhi ketentuan syar’i karena hal ini berkaitan dengan sahnya ibadah haji yang dilakukan. Perlu diperhatikan kembali aturan menjaga aurat selama dalam keadaan ihram sama wajibnya dengan menjaga aurat dalam shalat (Fiqhul mar’ah, hlm 236), selain menutup aurat seperti diatas, khusus bagi wanita ada larangan tertentu sesuai hadits ibnu Umar ra:...............................................................
”bahwa nabi saw melarang wanita yang sedang ihram memakai sarung tangan dan tutup muka, begitu juga dengan pakaian yang diberi wewangian (waras dan za’faron). Mereka boleh memakai selain itu yang mereka sukai dari berbagai warna yang dicelup, pakaian sutera, perhiasan, celana, baju atau sepatu” (HR. Abu daud, Baihaqi dan Hakim).
5.      bebrapa amalan dalam manasik haji yang perlu diperhatikan bagi wanita
a.       tidak mengeraskan suaranya ketika berdo’a, membaca al-qur’an (tadarrus) dan mengucapkan talbiah.
b.      Tidak lari-lari kecil (ar-rama) pada tiga putaran thawaf, demikian juga ketika melintasi pilar hijau ketika sa’i.
c.       Tidak mencukur rambutnya ketika tahallul, tetapi cukup memotong sedikitnya tiga helai sepanjang  jari.
6.      ihrambagi wanita haidl atau nifas
dalam keadaan haidl atau nifas wanita boleh mengerjakan semua rukun haji, kecuali thawaf, karena persyaratan thawaf adalah suci  dari hadats besar atau kecil. Seperti diungkapkan oleh ibnu abbas dari hadits nabi saw.:............................
”bahwa wanita yang sedang nifas dan haidl hendaklah ia mandi, lalu ihram, dan mengerjakan semuam manasik, kecuali ia tidak thawaf sebelum ia suci terlebih dahulu” (HR. Ahmad, Abu daud dan Tirmizi).
Dari hadits tersebut didapatkan bahwa untuk melakukan thawaf di Baitullah, tidak bisa tidak, wajib dalam keadaaan suci. Tetapi jika terjadi haidl setelah selesai thawaf, padahal belum sa’i, maka sa’inya boleh langsung dikerjakan, sperti hdits yang diriwayatkan Aisyah dan ujmmi salamah ra:.................................................
”Apabila seorang melakukan thawaf , lalau shalat dua raka’at (sunnat Thawaf) kemudian dia haidl, maka dia boleh meneruskan sa’i antara shafa dan marwah” (HR. Al-atsram).
Dengan kata lain bahwa dalam keadaan haidl atau nifas, wanita boleh melakukan wuquf  di ’arafah, mabit di muzdalifah dan mina, melontar jumrah, memotong rambut (tahallul) dan menyembelih ternak dam.
Disamping itu, bagi wanita yang melaksanakan haji tamattu’ pada waktu ihram umrah terhalang oleh haidl, baiuk sebelum atau sesudah niat umrah, maka setelah tiba di makkah harus menunda pelaksanaan umrahnya sampai suci (bimbingan manasik, 1987,hlm 33)
Sedangkan bagi wanita yang belum melkaukan thawaf ifadlah karena haidl, dan rombongannya akan segera pulang ke tanah air, makai ia harus menunggu sampai suci dan melakukan thawaf ifadlah. Dianjurkan untuk melapor kepada ketua kloter ybs. (TPHI), untuk diusulkan pindah ke kloter lain, sehingga dapat melakukan thawaf ifadlah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar